Kelanjutan Penelitian Burung Koak Malam Abu oleh Kelompok Pengamat Burung Nymphea Biologi ITB
Oleh
Editor
Tulisan ini melanjutkan tulisan sebelumnya (http://www.itb.ac.id/news/954) tentang penelitian "overpopulasi" burung Koak Malam Abu (Nycticorax Nycticorax) yang diadakan oleh Kelompok Pengamat Burung (KPB) Himpunan Mahasiswa Biologi "Nymphea" ITB. Dalam tulisan kedua ini, KPB Nymphea telah memulai penelitiannya terhadap pola hidup burung Koak, anatomi dan genetika burung Koak. Suatu hal yang dirasa penting dilakukan mengingat berbagai kasus flu burung (Avian Ifluenza) yang terjadi Indonesia.
"H5N1, ITB dan Burung-burung Liarnya"
Oleh : Tim KPB Nymphea ITB
Tak surut dari berita hangat tentang flu burung, mulai dari perluasan daerah yang terinfeksi hingga jatuhnya korban, ternyata berada tidak jauh dari kampus ITB. Sudah banyak "suspect", kluster, hingga korban yang terjadi akibat virus flu burung ini.
Bagaimana cara penularannya? Bagaimana cara menanggulanginya? Apakah kita harus berjalan dengan masker di wajah? Semua itu pertanyaan standart yang sering muncul di masyarakat.
ITB sekarang ini memiliki beragam jenis burung, baik jenis yang terancam punah hingga burung yang tidak dilindungi seperti Kowak Malam Abu. Dari hasil pengamatan rutin KPB Nymphaea, terdapat sekitar 26 burung di kampus ITB. Dari semua jenis burung yang ada di ITB tersebut, ada beberapa yang merupakan burung diurnal (aktif pada siang hari) ada yang merupakan nokturnal (aktif pada malam hari) dan bahkan ada yang semi nokturnal (aktif pada malam dan siang hari). Dari berbagai jenis burung tersebut, burung Kowak merupakan burung semi nokturnal yang mencari makan pada malam hari.
Berdasarkan penelitian terhadap flu burung di luar negeri, burung air liar termasuk jenis burung yang dicurigai sebagai vektor virus flu burung. Burung air liar sangat berpotensi sebagai vektor LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza), dimana burung air liar tersebut akan dapat menginfeksi unggas lainnya di sekitarnya. Meskipun hingga sekarang belum dapat ditetapkan cara penularan yang dilakukan burung tersebut, tetapi banyak pendapat yang mengatakan penularan yang mungkin terjadi adalah dari sebaran feses (kotoran) burung air liar tersebut, yang dapat bersentuhan dengan unggas lainnya meskipun secara tidak langsung dan juga hasil lelehan dari tubuh burung tersebut. Kejadian penularan seperti inilah yang dapat memperluas sebaran virus tersebut.
Burung atau unggas yang menjadi vektor LPAI tidak akan menunjukkan gejala-gejala terserang flu burung, karena ketahanan tubuh unggas tersebut yang mampu meredam infeksi yang diakibatkan virus tersebut. Virus tersebut akan berada dalam tubuh unggas vektor tetapi tidak akan membunuhnya. Peristiwa yang perlu dikhawatirkan adalah perubahan LPAI menjadi HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza). Perubahan atau mutasi ini dapat terjadi ketika virus tersebut menginfeksi unggas atau hewan yang tidak memiliki resistensi atau kekebalan tubuh yang sama seperti yang ada pada burung vektor tersebut, sehingga ketahanan tubuhnya akan menurun akibat infeksi virus tersebut, bahkan banyak unggas yang mengalami kematian (setelah menunjukkan tanda-tanda terinfeksi virus ini).
Mekanisme burung tersebut untuk bertahan terhadap virulensi virus tersebut sangat menarik untuk diteliti, mulai dari sistem pertahanan yang dihancurkan virus tersebut hingga cara dia berkembang dalam tubuh inang tersebut. Meskipun penelitian KPB Nymphaea belum sampai tahap tersebut tetapi tidak tertutup kemungkinan penelitian tersebut untuk dilaksanakan.
Jadi, yang menjadi potensi paling berbahaya adalah penularan virus tersebut dari burung liar ke unggas-unggas domestik. Karena penularan tersebut dapat mengubah virus tersebut menjadi patogen. Hal ini terbukti dari banyaknya kematian unggas-unggas domestik akibat AI (Avian Influenza) tersebut.
Pada bulan Januari tahun 2004 saja pernah mencapai jumlah 2.586.657 ekor unggas domestik yang mati karena AI (sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat).
Berdasarkan statistik pada gambar diatas (klik gambar untuk melihat lebih jelas-red), terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah kematian unggas akibat AI pada musim-musim penghujan, hal ini disebabkan karena virus AI tersebut dapat hidup di dalam kubangan air. Sehingga semakin banyak air yang terdapat, semakin banyak virus tersebut untuk menginfeksi hewan lain.
Burung Kowak merupakan sejenis unggas air liar yang dapat berpotensi sebagai vektor AI di kampus ITB. Kemampuan virus tersebut untuk menginfeksi hewan domestik lainnya itulah yang menjadi kekhawatiran dalam penanggulangan populasi kowak tersebut, apabila kowak tersebut positif vektor AI.
Sekarang ini, KPB Nymphaea ITB, Sekolah Ilmu Teknik dan Hayati (SITH) ITB dan Program Studi Biologi ITB, sudah mengadakan kerjasama dengan pihak Dinas Peternakan Jawa Barat dan pihak Kebun Binatang Bandung, untuk menangkap dan mengambil sampel darah burung kowak tersebut, dan kemudian diteliti secara serologis. Sehingga kita dapat mengetahui apakah burung tersebut terkena flu burung. Dan apabila terkena flu burung kita dapat melihat apa subtipe flu burung dalam darah burung tersebut. Dan apabila penelitian yang dilakukan KPB Nymphaea ini sudah selesai, maka diharapkan dapat menghasilkan suatu usulan solusi untuk pengelolaan dan pengendalian populasi kowak di ITB yang pada akhirnya dapat membantu civitas academica ITB pada khususnya dan masyarakat Bandung pada umumnya.