Kemunculan Monyet Ekor Panjang di Kota Bandung Tanda Habitatnya Rusak?

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). (Wikimedia Commons/Lisensi Creative Commons)

BANDUNG, itb.ac.id - Fenomena berkeliarannya satwa liar monyet ekor panjang ke Kota Bandung pada 28 Februari 2024 menghebohkan warga lokal dan netizen. Ahli ekologi dan spesialis mamalia satwa liar, Agung Ganthar Kusumanto, yang merupakan alumnus Biologi Institut Teknologi Bandung (ITB), memprediksi peristiwa ini sebagai salah satu tanda kelangkaan monyet ekor panjang.

Media sosial menjadi heboh dan spekulasi terus berdatangan terhadap peristiwa langka tersebut. Tidak sedikit yang berpendapat, munculnya monyet ekor panjang sebagai pertanda datangnya bencana alam. Namun, Agung berpendapat bahwa turunnya monyet ke permukiman warga di kota disebabkan oleh rusaknya habitat.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan mamalia semicosmopolis yang hidup di sekitar riparian (tepian) sungai. Kata “semi” berarti mereka dapat tinggal di kawasan permukiman, tepatnya di daerah yang sering memberikan mereka makanan, seperti pada tempat wisata, perbatasan hutan, dan daerah dengan pengelolaan sampah organik yang kurang baik. Namun, jika habitat yang dimilikinya masih ada, mereka tidak akan mendekat ke manusia.

“Monyet jenis ini termasuk hewan yang dapat belajar cepat,” ujarnya.

Agung memperkirakan habitat asli monyet ekor panjang rusak karena faktor cuaca. Intensitas hujan yang tinggi akhir-akhir ini menjadi kemungkinan menjadi penyebab utama air sungai meluap dan merusak habitat mereka. Alumnus Biologi ITB itu juga mengatakan bahwa kebiasaan hidupnya yang dapat berdampingan dengan manusia, termasuk dalam hal makanan, membuat satwa liar ini mempertahankan hidup dengan cara berpindah dan bertahan hidup di permukiman.

Alih fungsi hutan yang banyak dilakukan di Indonesia juga membuat berkurangnya lahan habitat monyet ekor panjang. Ketika monyet mengetahui habitat asli mereka telah rusak, dengan cepat mereka menemukan habitat lain yang sejenis. Namun, kurangnya jumlah kawasan hutan di Indonesia membuat monyet ekor panjang berpindah ke pemukiman manusia.

Habitat monyet ekor panjang yang rusak dapat berdampak pada kelangkaan satwa liar ini. Beliau menjelaskan bahwa setiap makhluk hidup saling hidup berdampingan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Apabila terjadi kerusakan pada ekosistem, maka rantai ekosistem juga turut rusak dan berdampak pada langka bahkan punahnya makhluk hidup apabila tidak dapat bertahan hidup di ekosistem baru.

Kelangkaan monyet ekor panjang di alam juga dapat disebabkan oleh aktivitas perburuan liar. Beliau mengungkapkan bahwa manusia cenderung berburu induk satwa liar untuk diambil anaknya. Biasanya anak satwa liar dijual secara illegal. Fenomena yang sering dijumpai di Indonesia yakni pertunjukan topeng monyet.

Munculnya monyet ekor panjang di permukiman manusia semakin meningkatkan peluang perburuan liar. Hal ini akan berdampak pada penurunan jumlah populasi hewan tersebut atau kelangkaan dalam jangka pendek.

Beliau mengimbau untuk melakukan aktivitas konservasi pada spesies yang melimpah untuk mencegah spesies tersebut hampir punah dan menciptakan dukungan ekosistem yang optimal. Selain itu, upaya revitalisasi habitat perlu segera dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. “Jaga habitat, jangan diburu,” ujarnya.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)