Studium Generale ITB: Hak Atas Kekayaan Intelektual sebagai Penghormatan atas Rasa, Karsa, dan Daya Cipta Manusia

Oleh Asep Kurnia, S. Kom

Editor Asep Kurnia, S. Kom

Bandung, itb.ac.id–Kekayaan intelektual merupakan jenis kekayaan yang memuat kreasi yang muncul dari intelektualitas. Hak atas kekayaan intelektual (HAKI) merupakan cabang ilmu hukum yang lahir dari kekayaan intelektual manusia. HAKI sendiri diwujudkan untuk mendorong kreasi-kreasi inovatif intelektual.

Strukturisasi HAKI telah muncul di Eropa sejak zaman pertengahan. Hukum mengenai HAKI telah dibawa oleh kolonial Belanda ke Indonesia sejak jaman penjajahan. Sayangnya, strukturisasi HAKI di Indonesia baru dimulai pada era 1980-an. Strukturisasi hukum sendiri sangat krusial dalam perlindungan kemampuan intelektual manusia.

Kemampuan intelektual sendiri mampu mendorong kegiatan penciptaan dan penemuan yang menghasilkan karya seni, sastra, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Karya-karya inovatif tidak hanya muncul secara tiba-tiba, namun ditarik dari kemampuan intelektual seorang manusia.

“Intelektual mampu mencurahkan rasa, karsa, dan daya cipta yang mampu membuat manusia larut dalam kesenian,” jelas Anggota Dewan Pengarah BRIN Dr. Bambang Kesowo, S.H., LL.M. untuk menekankan hasil kemampuan intelektual manusia dalam kuliah umum KU-4078 Studium Generale (12/10/2022) yang bertajuk “Konsepsi Dasar Hak Kekayaan Intelektual”.

Karya-karya intelektual menjadi penting karena sangkut-pautnya dengan aspek-aspek moral, ekonomi, sosial, hukum, dan politik. Karya intelektual, secara aspek sosial mampu memberikan stimulasi kepada peneliti dan penemu lain untuk menghadirkan karya inovatif yang lebih beragam dan bermanfaat.

Aspek hukum sendiri berusaha memberikan penghormatan kepada kekayaan intelektual dalam bentuk perlindungan. “Kalau tak ada perlindungan, tidak akan ada (kemunculan) ide inovatif,” sebut Dr. Bambang Kesowo menekankan bahwa konsep hukum ditumbuhkan guna mengembangkan budaya pengakuan terhadap jerih payah seseorang terkait intelektualnya.

HAKI sendiri bersifat eksklusif, hanya diberikan kepada sang penemu atas ciptaannya untuk dimanfaatkan secara ekonomi atau hukum sesuai undang-undang. Bagaimanapun, HAKI dapat dialihkan baik secara tetap melalui pelepasan hak, maupun sementara dengan pemberian lisensi penggunaan kekayaan intelektual.

Pengelolaan kekayaan intelektual sendiri dilakukan tidak hanya demi perlindungan bagi penemunya, namun juga sebagai tindakan strategis terhadap pembangunan. “Isu HAKI sendiri akan naik jika ada tujuan komersialisasi untuk kepentingan industri,” ujar Dr. Bambang Kesowo menggambarkan pengelolaan HAKI berorientasi pembangunan.

Manusia harus menjadi sentral dalam pemikiran dan pembangunan nasional, karena manusia adalah pemilik ide, perancang, pelaksana, dan pengendali. Maka dari itu, Dr. Bambang Kesowo kembali menegaskan, “Isu yang paling penting adalah kualitas manusia, baik dalam konteks mental, karakter, dan kapasitas intelektual dalam berinovasi.”

Kuliah ditutup dengan pemaparan tantangan pelaksanaan HAKI kedepan. Isu terkini yang dinilai vital adalah tingkat sosialisasi dan pengajaran di kalangan masyarakat dan akademisi terkait pemanfaatan HAKI yang masih sangat terbatas. Selain itu, dinamika kependudukan juga memberi tantangan tersendiri atas prediksi perkembangan inovasi dan kemungkinan timbulnya isu-isu baru terkait traditional folklore, traditional knowledge, dan genetic resources.

Reporter: Ananta Muji (Sistem dan Teknologi Informasi, 2019)