Kereta Mimpi Hadirkan Secercah Asa untuk Anak Ciroyom
Oleh Ahmad Furqan Hala
Editor Ahmad Furqan Hala
Dalam sejarahnya, Naufal Firas Lubaba (Teknik Perminyakan 2009) salah satu relawan Kereta Mimpi, sekaligus anggota Loedroek ITB mulai mengenal Kereta Mimpi pada tahun-tahun awal pengembangan Rubel ini. Melihat adanya kebutuhan pengajar yang cukup tinggi, Naufal memutuskan untuk menggerakkan hati mahasiswa-mahasiswa ITB untuk ikut mengambil andil pada kegiatan sosial ini. Setelah melalui pertimbangan yang matang, ia memutuskan untuk memulainya lewat unit, di mana birokrasinya tidak terlalu sulit. "Kami mulai dari unit. Biarlah anak-anak unit ini yang akan mengajak himpunannya untuk ikut turun," ujar Naufal. Hingga saat ini, beberapa himpunan sudah mulai berpartisipasi dalam rumah belajar kereta mimpi, di antara Himpunan Mahasiswa Planologi 'Pangripta Loka' ITB dan Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB 2013. "Kami seperti membuat matahari," imbuh Naufal. Naufal menjelaskan bahwa siapapun bisa menjadi relawan Kereta Mimpi, tidak terbatas hanya untuk anggota Loedroek ITB.
Berbeda dengan komunitas Sahaja yang menargetkan anak-anak jalanan, Kereta Mimpi lebih menargetkan kepada high risk children, yaitu anak-anak yang masih memiliki rumah dan keluarga, tetapi berisiko tinggi untuk menjadi anak jalanan. Hingga saat ini, ada sekitar 50-an anak yang berada dalam naungan Kereta Mimpi, dari usia balita hingga SMP. Kegiatan rutin dilakukan tiap Hari Minggu pukul 13.00-17.00. Bertempat di mushala, kegiatan ini diisi dengan pemberian materi pelajaran di sekolah maupun games-games yang sifatnya memotivasi. Jumlah total relawan yang tergabung dalam komunitas hingga saat ini mencapai 30 orang. Tidak hanya sekadar memberikan materi pelajaran saja, Kereta Mimpi juga ikut memberikan dukungan material kepada anak-anak yang membutuhkan. Seperti bantuan biaya untuk sekolah dan membelikan berbagai perlengkapan sekolah.
Mengubah Mental, Hambatan Terbesar bagi Kereta Mimpi
Perubahan cara pandang terhadap dunia menjadi target utama bagi Kereta Mimpi. Ada kebahagiaan tersendiri bagi relawan ketika mendengar bahwa anak-anak yang terlahir pada kondisi kurang beruntung ini mempunyai mimpi-mimpi yang besar. "Aku mau jadi presiden, kalau nggak guru matematika, kalau nggak profesor. Aamiin," jawab Abel, ketika ditanya tentang mimpinya. "Katanya kan kalau cita-cita itu harus setinggi langit, ya?," imbuh Abel. Pada awal kedatangannya, Naufal mengungkapkan bahwa anak-anak ini memiliki mimpi yang pesimistis. "Dulu ketika ditanya, anak-anak bilang mimpinya itu jadi pemulung atau pengemis," kata Naufal.
Perjuangan menginisiasi adanya rumah belajar ini sendiri tidak mudah. Tantangan datang dari orang tua. Beberapa dari mereka tidak ingin anak-anaknya sekolah. Bagi mereka, akan lebih menguntungkan jika anak-anak langsung bekerja dan mendapatkan uang. Bahkan, beberapa dari mereka meminta uang rugi untuk hal tersebut. Budaya ini mau tidak mau menurun kepada anak-anak yang hidup bersama mereka. "Mental meminta itu susah diubah. Bagi mereka, meminta bukan hal yang tabu. Hal itulah yang ingin kami ubah," jelas Naufal. Namun, saat ini masyarakat sekitar sudah menerima dengan baik relawan Kereta Mimpi. Beberapa warga tampak menyapa ramah dan bercakap-cakap dengan para relawan.
Para relawan Kereta Mimpi berharap agar rumah belajar di Ciroyom ini terus berkembang. Tidak dipungkiri bahwa bukan anak-anak saja yang belajar banyak dari para relawan. Sebaliknya, para relawan juga mendapatkan banyak hal dari anak-anak ini. "Kami belajar bahwa menjadi orang baik saja tidak cukup. Tetapi, harus mampu membuat orang lain untuk menjadi baik juga," kata Fajrul, salah satu inisiator Rumah Belajar Ciroyom, sekaligus alumni Teknik Elektro ITB.
Oleh: Abdiel Jeremi, Cintya Nursyifa J.S., dan Muti'ah Nurul J. (ITB Journalist Apprentice 2015)