Kolaborasi dengan ICESCO Maroko, SCCIC ITB Gelar Workshop Design Innovation, Circular Economy, and Technology for Circular Economy

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

BANDUNG, itb.ac.id – Smart City and Community Innovation Center Institut Teknologi Bandung (SCCIC ITB) bekerja sama dengan Islamic World Educational, Scientific and Cultural Organization (ICESCO) Maroko menyelenggarakan International Workshop for Smart Cities and Circular Green Economy, pada Selasa-Rabu (12-13/12/2023). Kegiatan ini dilakukan secara hybrid, di Ruang Auditorium IPTEKS CC Timur, ITB Kampus Ganesha dan secara daring melalui zoom meeting.

Salah satu sesi dari workshop tersebut membahas Design Innovation, Circular Economy, Technology for Circular Economy pada Selasa (12/12/2023), dengan menghadirkan berbagai pembicara yakni, Prof. Dr. Mohammed Essaidi, Dr. Dwinita Larasati S.Sn., MA., dan Harry Anugrah Mawardi., S.Ds., M.Ds.

Salah satu perwakilan ICESCO, Prof. Dr. Mohammed Essaidi menyampaikan bahwa trend yang membentuk kehidupan manusia di antaranya dari perencanaan hijau ruang publik, komunitas kesehatan yang cerdas, mobilitas, ekosistem inovasi digital, hingga ekonomi sirkular.

Tujuan utama green economy berkaitan dengan keanekaragaman hayati dan ekosistem, ketahanan terhadap perubahan iklim, gas emisi rumah kaca, serta pembangunan sosial dan pengentasan kemiskinan. Beliau menyampaikan bahwa smart cities merupakan kunci dari sirkular dan green economy, dengan karakteristik mencakup smart people, smart living, smart government, smart mobility, smart environment, dan smart economy.

Kemudian dibahas juga mengenai key performance indicator (KPI) dari smart city mulai dari ISO 37120 mengenai standar pembangunan masyarakat yang berkelanjutan, dan standar IEEE P2784 mengenai panduan teknologi dan framework proses untuk merencanakan smart city. Di akhir presentasinya, beliau juga memaparkan use case smart city di Casablanca, Maroko.

Pemaparan dilanjutkan oleh Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Dr. Dwinita Larasati S.Sn., MA., yang membahas tentang Piloting Circular (Creative) Economy. Beliau menjelaskan bagaimana Indonesia berubah dari extracting ke intersecting.

“Kita mulai beranjak, yang tadinya ekonomi yang berbasis ekstraksi ‘menggali mineral, memotong pohon’, ke ekonomi yang sifatnya intersecting atau memanfaatkan irisan kecerdasan manusia, daya cipta, dan kreativitas,” papar beliau.

Ekonomi kreatif sebagai ekosistem bukan hanya pada transaksi produk kreatif saja, namun menyeluruh (pelaku, R&D, market, dan produk). Setiap anggota Indonesia Creative Cities Network (ICCN) sepakat untuk menerapakan 10 prinsip Indonesia creative cities yang sejalan dengan SDGs. Kota yang kreatif adalah kota compassion, menghargai keberagaman, dsb. Ada 11 cara untuk mengimplementasikan 10 prinsip tersebut sesuai dengan kondisi masing-masing kota.

Pada Smart City Expo 2018 di Jaipur, India, smart city untuk pertama kalinya dipandang dari negara padat penduduk, dan ada 4 hal terkait smart city. Seperti internet of things yang ditarik ke bagaimana teknologi tersebut berdampak ke masyarakat, ada juga tentang pekerjaan, digitally-enabled everything, dan solusi apapun yang sifatnya harus lebih organik.

Contoh use case sirkular kreatif ekonomi yang bisa dilakukan di Bandung, yaitu pada penelitian Fashion Village Lab. Fenomenanya saat itu adalah ingin melihat kualitas pemukiman tempat tinggal buruh tekstil.

Para pekerja harus melewati tumpukan sampah tekstil yang setiap hari dibuang sekian kilo, dan kondisi perumahannya berantakan, dan untuk mereka yang ngekos tidak ada pilihan lain untuk tinggal di sekitar sana.

Pabriknya juga mengotori sungai dan tanah, namun tidak mau bertanggung jawab, seperti awalnya hanya riset perumahan buruh berubah menjadi Fashion Village Lab.

Melalui kolaborasi dengan masyarakat, mahasiswa, dan berbagai pihak yang terlibat beberapa hal dibuat seperti mural di ruang terbuka. Di mana hal tersebut sekaligus melambangkan warna-warni tekstil, membuat sesuatu dari sisa kain majun, menciptakan koperasi kawasan wisata sandang, dan lain sebagainya.

Tak hanya itu, beliau juga membahas urban games, dimana kota sebagai laboratorium hidup.

“Bagi kami, smart city itu bukan canggih-canggihan alat, tapi seefektif apa teknologi yang bisa dipakai untuk memecahkan masalah kota ini, salah satunya dengan games seperti ini,” ungkapnya.

Lalu dilanjutkan dengan paparan Direktur Eksekutif dari Kreasi Jabar, Harry Anugrah Mawardi., S.Ds., M.Ds. tentang meningkatkan diplomasi kreatif, suatu alternatif yang berdampak bagi perbaikan masyarakat.

Berbagai peristiwa seperti ditutupnya titok shop selama 2 bulan, konser musik yang membludak, tragedi kanjuruhan membuat kita sulit melihat sejauh mana implementasi smart city pada society. Beliau juga menyampaikan ada solusi yang solutif dan kreatif, walaupun kita anggap hal itu konyol. Seperti contoh menonton konser dari bioskop. Saat ini, kreativitas menawarkan solusi inovatif untuk mengatasi masalah global.

Beliau mencontohkan use case diplomasi kreatif di Jawa Barat. Ketika 2019, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, melakukan kunjungan ke IKEA Swedia, kemudian melakukan creative diplomacy dengan membawakan oleh-oleh desain batiknya sendiri pada CEO of Business Sweden Ylva Berg. Lalu dibalas dengan creative diplomacy yang lebih gimmick lagi, yaitu dengan mengaitkannya kepada komik lokal di sana yang berjudul "That Boy Emill".

Menurutnya, Ini adalah soft diplomacy yang dilawan oleh soft diplomacy lagi. Tujuannya adalah untuk mencairkan suasana dan menjalin kerjasama yang menguntuntungkan kedua belah pihak. Lalu IKEA secara suka rela memberikan ruang khusus untuk brand lokal khas Jawa Barat.

Dia pun mengungkapkan beberapa soft diplomacy lainnya yang dilakukan seperti diplomasi ekonomi dengan cendol, diplomasi budaya melalui batik, diplomasi kerjasama melalui badminton, dan lain sebagainya.

Jika berbicara mengenai smart city, pada dasarnya membuat loncatan-loncatan kemudahan dan kenyamanan untuk kehidupan sehari-hari. Namun kebanyakan fokusnya masih di area strange making, membuat sesuatu yang berbeda, yang baru, yang belum pernah dibuat orang, inovasi. Namun seharusnya pada sense making, dimana perubahan-perubahan yang diberikan itu adalah masuk akal.

Reporter : Gishelawati (Astronomi, 2019)