Kolokium Bersama Dr. Hakeem Oluseyi, “Hacking the Stars and Dark Matter”
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG.itb.ac.id -- Sebagian besar orang mempelajari bintang untuk mengetahui apa yang terjadi pada benda langit tersebut. Namun berbeda dengan Dr. Hakeem Oluseyi, peneliti NASA ini justru mempelajari bintang untuk mengembangkan teknologi yang dapat digunakan untuk mempelajari bintang dalam rangka memahami pembentukan galaksi. Dengan demikian kita dapat mengetahui bagaimana alam semesta terbentuk dan berkembang.
Hal tersebut disampaikan Dr. Hakeem pada kolokium “Hacking the Stars and Dark Matter” pada Rabu (2/10/2019) lalu di Convention Hall Gedung Centre of Advance Science (CAS), Institut Teknologi Bandung (ITB). Kolokium tersebut dimulai dari gambaran singkat bagaimana sejarah pembentukan galaksi mempengaruhi properti dari substruktur galaksi itu sendiri. Kemudian dari situ diharapkan dapat diketahui struktur galaksi dari pemetaan potensial galaksi dengan kinematika stream pada halo galaksi.
Oluseyi adalah seorang profesor pada bidang Physics and Space Sciences di Florida Institute of Technology. Dia terkenal karena memiliki banyak keahlian dalam berbagai bidang, seperti Solar/Plasma Pyhsics, Space Mission and Technology, Computation Modelling, Machine Learning, Ion Propulsion, hingga Science Education.
Pada kolokium yang diselenggarakan oleh KK Astronomi ITB bekerja sama dengan United State Embassy Jakarta dan American Corner itu, Dr. Hakeem juga mencoba menjelaskan mengapa matahari dapat melontarkan massanya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Ia juga menjelaskan bagaimana para astronom memahami keberadaan dark matter dari fenomena bullet nebula.
“Jika dua galaksi melewati satu sama lain, kemudian gas di antara keduanya tertahan atau berhenti kemudian dari gravitational lensing kita dapat mengetahui keberadaan sesuatu yang secara pengamatan tidak teramati rupanya namun memiliki potensial gravitasi yang tergambar dari distribusi potensial gravitasi, yang hari ini disebut sebagai dark matter,” jelas Dr. Hakeem dalam kolokiumnya.
*Teropong Zeiss di Observatorium Bosscha. (Foto: Humas ITB)
Berbicara tentang dunia astronomi dan pengamatan bintang, ITB merupakan perguruan tinggi satu-satunya di Indonesia yang memiliki Program Studi Astronomi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selain itu, ITB juga memiliki Observatorium Bosscha yang menjadi pusat penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu Astronomi di Indonesia. Hingga saat ini, Observatorium Bosscha merupakan observatorium tertua dan terbesar di Asia Tenggara.
Kegiatan pengamatan dan penelitian benda-benda langit sudah dilakukan Observatorium Bosscha sejak didirikan pada tahun 1923. Di momen tertentu, seperti pada peringatan 50 tahun pendaratan manusia di bulan, Juli 2019 lalu, Observatorium Bosscha turut mengundang masyarakat untuk melakukan pengamatan benda langit bersama para peneliti di Bosscha.
Reporter: Salma Zahra Fadiyah (Astronomi, 2016)