Konflik Punclut: Mempertimbangkan Lingkungan dalam Bisnis (1)
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Sebuah pemaparan bertemakan Lingkungan Puncak Ciumbeluit (Punclut) yang menarik dan mencerahkan diberikan oleh Sobirin, 21 Mei 2005, kemarin di Ruang Auditorium Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB. Kehadiran salah satu anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda ini merupakan bagian dari kuliah tamu (guest lecturing) yang diselenggarakan secara reguler oleh SBM ITB setiap akhir pekan.
Yang unik dalam kuliah tamu ini adalah tema yang diangkat. Berbeda dengan seminar, workshop, atau kuliah-kuliah tamu di SBM sebelum-sebelumnya yang lebih banyak mengangkat mengenai dunia manajemen dan bisnis, kali ini SBM mengangkat tema lingkungan hidup, khususnya lingkungan Punclut. Yang menjadi diskusi adalah apakah Punclut itu merupakan "barang publik" atau "barang swasta". Dua terminologi kontradiksional ini muncul karena memang terdapat konflik kepentingan antara Pemerintah Daerah (Pemda), Pengembang, dan Masyarakat.
Sobirin memulai pemaparannya dengan mengungkap berbagai fakta mengenai Punclut dan laju kerusakan yang terjadi di Punclut. Punclut merupakah salah satu kawasan Bandung Utara (38.548 hektar) yang berada di bawah Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung. Luas Punclut sekitar 268 hektar. Melalui berbagai citra satelit dan foto udara, Sobirin memperlihatkan kerusakan yang terjadi di Kawasan Bandung Utara (KBU), termasuk Punclut. Hingga tahun 2003 lalu, 70% KBU hancur. Di Punclut sendiri kawasan hutan dan pertanian turun masing-masing 12 persen dan 14 persen. Sementara itu, Kawasan pemukiman dan semak belukar meningkat masing masing 149 persen dan 87 persen. Kalau pada tahun 1960, koefisien run-off KBU hanya 40 persen, tahun 2004, koefisien run-off KBU mencapai 90 persen. Muka air tanah pun turun drastis; muka air tanah dangkal turun hingga 10 meter; muka air tanah tengah turun 10-80 meter; dan muka air dalam turun 50-80 meter.
Kawasan KBU, termasuk Punclut jelas merupakan kawasan penyangga cekungan Bandung. Akibat lain yang parah selain turunnya muka air tanah dan meningkatnya koefisien run-off adalah menurunnya kualitas udara. Di atas Bandung akan terbentuk "heat island", terdapat awan yang membuat polusi udara di kota Bandung untuk terkonsentrasi terus-menerus di atas kota Bandung. Bulan Oktober 2004 tercatat suhu tertinggi yang pernah dialami kota Bandung, yaitu 34 derajat Celcius. Alhasil, temperatur meningkat dan kualitas udara rendah. Dari 365 hari dalam setahun, menurut Sobirin, hanya 55 hari di mana, kualitas udara kota Bandung sehat.