Kuliah Tamu SBM: Mengenal Konsumen demi Selamat dalam Kompetisi

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Sabtu, 18 Juni lalu Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB kembali menggelar Kuliah Tamu. Dalam kuliah tamu pertama di semester pendek ini, hadir Eric Meijer, Vice President Marketing dan CRM PT Telkomsel. Kuliah tamu bertemakan marketing ini bertajuk Understanding Consumer Behaviour in Severe Competition to Develop an Effective Marketing Strategy. Sebagai penanggung jawab tertinggi marketing di PT Telkomsel, Eric memberikan sharing yang menarik -dan kerap diselingi tawa- mengenai kenyataan dunia marketing bisnis operator telekomunikasi selular yang nyata di lapangan. Bisnis operator telekomunikasi selular memang sedang mengalami fase kompetisi yang ketat dan bisa dikatakan 'kejam'. Eric mengawali pemaparannya dengan memberikan sejumlah karakter bisnis telekomunikasi selular dan sekilas sejarah PT Telkomsel. Banyaknya keunikan yang menguntungkan dari segi bisnis, seperti tidak adanya inventori dan tingginya income membuat bisnis telekomunikasi selular banyak diminati. Yang unik juga, bisnis telekomunikasi tidak terpengaruh oleh keadaan ekonomi. "Pada saat krisis ekonomi, pendapatan kita malah meningkat," tutur Eric. Selain itu, penetrasi telekomunikasi selular di Indonesia jauh lebih tinggi dari penetrasi telekomunikasi fixed-line. Bisnis telekomunikasi selular juga baru menyentuh sebagian kecil masyarakat Indonesia, baru sekitar 15 persen dari 200 juta-an masyarakat Indonesia. Banyaknya pemain di dunia telekomunikasi selular membuat persaingan semakin ketat. Sebenarnya ada cara mudah untuk menang berkompetisi, yaitu mengurangi harga dan mengeluarkan biaya banyak untuk iklan. Namun, terdapat cara yang lebih baik dari pada itu, yaitu: using real customer insights dan creativity. Operator telekomunikasi harus mengerti kebutuhan pelanggannya dan menjalin intimasi dengan pelanggan. Mengenai kreativitas, Eric memuji Indosat yang pertama kali mengeluarkan 'bebas roaming'. Di satu sisi, tampak 'bebas roaming' itu sangat menguntungkan pelanggan dan membuat profit operator menurut. Nyatanya tidak. Profit roaming itu hanya sekitar 8 persen dari total profit operator selular. Selain itu, sebelum paket 'bebas roaming' dilepas ke pasar, pajak pertambahan nilai (PPN) sejumlah 10 persen ditanggung oleh operator. Namun, begitu paket bebas roaming dilepas ke pasar, PPN ditanggung oleh pelanggan. Jadi, bukannya kehilangan profit, operator malah masih mendapatkan sedikit tambahan keuntungan. Sementara itu, pelanggan memiliki persepsi bahwa ia sudah memiliki operator yang 'baik hati'. Persepsi ini pula yang ditekankan oleh Eric. "Dalam bisnis yang penting adalah persepsi," tandasnya "Kenyataan gak penting dalam dunia marketing. Yang penting, pelanggan memiliki persepsi bahwa kita yang paling murah dan paling baik." Mengerti kebutuhan konsumen dan menjalin intimasi dengan konsumen adalah hal yang penting untuk dilakukan dalam kondisi persaingan yang ketat. Untuk itu, Telkomsel telah mengadakan berbagai studi mengenai produk-produknya dan konsumennya. Salah satu bukti keberhasilan gemilang dalam mengerti kebutuhan konsumen adalah produk kartu pra-bayar Simpati. Telkomsel merupakan operator selular pertama di Asia -ketiga di dunia- yang mengeluarkan produk pra-bayar. Ini juga merupakan strategi segmentasi pelanggan oleh telkomsel. Kalau kartu Halo ditargetkan untuk pelanggan ekonomi menengah keatas, Simpati ditargetkan untuk pelanggan ekonomi menengah. Baru-baru ini, juga dikeluarkan kartu As yang menjadi produk Telkomsel untuk kalangan ekonomi lemah. Perbedaan produk berdasarkan segementasi pasar membuat masing-masing produk memiliki sifat-sifat yang tertentu. Hal ini dapat dilihat dari studi 'brand map'. Studi ini menunjukkan kedekatan produk dengan sifat-sifat tertentu berdasarkan pendapat pelanggan. Misalnya, Simpati itu dekat sekali dengan sifat 'voice clarity'. Dari sini dapat dilihat keunikan suatu produk di mata pelanggan. Studi pasar memiliki peranan yang signifikan dalam usaha memenangkan kompetisi. Misalnya, salah bila kartu selular untuk segmen pasar ekonomi lemah, seperti kartu As, tidak membutuhkan fasilitas canggih seperti GPRS. Konsumen Indonesia yang memiliki gengsi yang tinggi juga ternyata menuntut adanya GPRS, bahkan untuk kartu selular segmen pelanggan ekonomi lemah. "Memang HP saya gak ada GPRS-nya tapi kartu saya punya GPRS," sindir Eric. Gengsi tinggi masyarakat Indonesia ini juga dibuktikan dari studi pada tahun 2004 yang menyimpulkan bahwa masyarakat Australia berganti HP 5 tahun sekali, sedangkan masyarakat Indonesia, rata-rata berganti HP 1,5 tahun sekali. Juga berkaitan dengan gengsi, masyarakat Indonesia menuntut good image dari sebuah produk. "Orang lebih bangga pake HP yang awal nomornya 0811," ujar Eric. Karakter-karakter semacam inilah yang kemudian diolah untuk bisa mengembangkan produk sehingga lebih dekat dengan pelanggan. Sifat yang unik dari masyarakat Indonesia namun cukup merepotkan bagi para operator selular adalah sifat pelanggan Indonesia yang jarang menyampaikan komplain. "Mereka kecewa dan tau-tau langsung aja pindah," tutur Eric. Di banyak negara lain, hal ini tidak terjadi. Walaupun operator telah menyediakan customer service yang profesional, pelanggan Indonesia cenderung malas komplain tentang kekecewaan mereka. Maka, untuk mendengarkan keluhan pelanggan, operator harus benar-benar turun ke pasar dan melakukan studi pasar. Market intelligence juga dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi, menurut Eric. Operator harus mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai pasar, pelanggan, dan produknya. Selain itu, kemajuan teknologi wajib diikuti demi menjamin product leadership. Ke depan, saat pasar sudah jenuh, dan fase kompetisi beralih ke fase maturity yang stabil, orientasi marketing akan berubah menjadi orientasi menjaga loyalitas. Di sinilah, branding sebuah produk harus berdasarkan emotion bonding. Sejak sekarang operator harus mempersiapkan hal ini.