LPPM-ITB Selenggarakan Webinar “A Story from Village: Karsa Loka”

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Para peneliti di Institut Teknologi Bandung telah banyak menghasilkan produk penelitian. Di antara hasil penelitian tersebut adalah yang mengangkat tentang kearifan lokal. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ITB mengadakan webinar bekerja sama dengan Lab Etnografi desain FSRD ITB dengan tema A Story from Village: Karsa Loka vol 1.0.

Webinar tersebut diselenggarakan oleh LPPM ITB dengan tujuan mengangkat penelitian yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya di daerah. Webinar yang diselenggarakan pada Jumat, 13 November 2020, ini diisi oleh Singgih Susilo Kartono (Desain Produk’ 86) yang menciptakan radio kayu Magno dan Spedagi bamboo bike dan Dr. Fenny Martha Dwivani (Dosen SITH ITB) yang memiliki fokus penelitian mengenai pisang.

Pada sesi pertama, Singgih Susilo memaparkan produknya yang ramah lingkungan dengan menggunakan bambu dan kayu asli dari daerah Temanggung. Produk-produknya sudah berhasil terkenal mendunia dan sudah mendapat beberapa penghargaan internasional di antaranya Japan Good Design Award G-Mark dan London Design Museum’s Brit Insurance Design Award 2009.

Menurutnya penggunaan bambu adalah sebagai salah satu usaha untuk mengurangi emisi karbon. “Pada konsep keberlanjutan, setidaknya ada 3 hal yang harus diperhatikan yaitu kehidupan, keseimbangan, dan keterbatasan,” ujar Singgih.

Produk Magno merupakan produk pertama yang dibuat dan menjadi inspirasi untuk membuat sepeda bambu Spedagi. Saat itu, produk Magno dirasa belum bisa menyelesaikan masalah di desa mengenai keseimbangan antara desa dan kota khususnya terkait ekonomi. Dengan adanya sepeda Spedagi, banyak yang berbondong-bondong datang ke desa dan skala penjualan Spedagi yang lebih luas.

Menurut Singgih, produk lokal lebih baik dari produk impor, hanya saja saat ini banyak desa yang mengalami degradasi. Padahal, desa berpotensi menjadi penyuplai material pembuatan produk. Degradasi desa disebabkan oleh contextual education. Membangun contextual education sebetulnya sederhana, dengan memahami apa yang ada di sekitar dan bagaimana bisa membangun rasa percaya diri akan tempat asalnya. “Pada kenyataannya, saat ini banyak yang merasa tidak percaya diri dengan tempat asalnya dan justru meninggalkan desanya untuk berkarir. Membentuk sebuah kehidupan yang berkelanjutan tidak bisa bisa dicapai dengan kehidupa sekarang, perlu keseimbangan antar aspek salah satunya keseimbangan desa dan kota,” ujarnya.

Pada sesi webinar yang kedua, Dr. Fenny menyampaikan penelitiannya mengenai teknologi pembudidayaan pisang dan pengelolaannya menjadi produk yang memiliki nilai jual. Tempat pembudidayaan dan penelitian pisang dilakukan di Bali, karena Bali merupakan daerah wisata dan menjadi daerah pengonsumsi pisang terbesar sebesar di Indonesia.

“Setidaknya sebanyak 3 triliyun pisang pertahun dikonsumsi di daerah Bali, tetapi sayangnya Bali bukan produsen pisang,” ujar Dr. Fenny.
Tujuan utama teknologi yang dikembangkan adalah membuat sebuah siklus pembudidayaan pisang mulai dari penanaman bibit hingga menjadi produk pisang yang unggul dan limbahnya dapat diolah menjadi produk yang bernilai jual. Sehingga, keseluruhan prosesnya bersifat zero waste.

Reporter: Diah Rachmawati (Teknik Industri, 2016)