Mahfud MD Sampaikan Kuliah Wawasan Kebangsaan Merawat Keberagaman Menangkal Radikalisme

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac,id – Seiring berkembangnya dinamika sosial dan politik di Indonesia, mengharuskan kita kembali mengingat pada dasar negara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Hal inilah yang diungkapkan Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2013-2018 dalam acara Studium Generale ITB yang diselenggarakan Rabu, 24 April 2019 di Aula Barat ITB. Dengan tajuk Wawasan Kebangsaan Merawat Keberagaman Menangkal Radikalisme, Mahfud MD berhasil meraih antusiasme dari ratusan mahasiswa yang datang pada acara tersebut.


Sebelum menjelaskan tentang dasar negara, ia bercerita, bahwa ITB sebagai perguruan tinggi telah melahirkan beberapa tokoh kebangsaan Indonesia dan turut andil besar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Sebut saja salah satunya Presiden Soekarno. Ia merupakan negarawan yang memiliki konsep bahwa Indonesia harus bersatu. Bung Karno memiliki konsep dasar negara yaitu Pancasila yang dirumuskan dalam BPUPKI dan piagam Jakarta. Atas prakarsa dari Bung Karno pula terjadi penggantian kalimat “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Pancasila. 

“Bung Karno adalah tokoh muslim yang progresif. Beliau juga merupakan perumus nasionalisme dan geopolitik Indonesia dengan inti kebersatuan dan keberagaman. Hal tersebut yang menjadikan Indonesia dengan 17.000 pulau, 760 lebih bahasa daerah, dan 1.362 suku masih bersatu hingga sekarang,” ujar Mahfud MD.

Selain Bung Karno, Mahfud MD mengatakan bahwa salah satu tokoh kebangsaan dari ITB yang berperan penting dalam sejarah Indonesia adalah Presiden BJ. Habibie. Habibie merupakan salah satu pembangun demokrasi setelah masa Orde Baru. Reformasi muncul ketika Habibie menjabat sebagai presiden. “Menurut konstitusi, periode Habibie menjadi presiden sebenarnya hingga 2003 namun Habibie mengatakan bahwa ingin membangun demokrasi. Maka dari itu pemilu dipercepat pada tahun 1999 dan Indonesia mencatat sejarah baru yaitu pemilu dengan 48 partai,” tutur Menteri Pertahanan pada periode pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Pancasila dari Masa ke Masa

Dijelaskan Mahfud MD, Pancasila merupakan resultante dalam prismatika (merupakan kesepakatan dan kumpulan ide) dari banyak orang. Banyak pemikiran mengenai nasionalisme, liberalisme, dan komunisme yang menyusun Pancasila. Upaya penggantian Pancasila sebagai dasar negara telah dilakukan berkali-kali. Pada tahun 1955 ketika perang ideologi antara liberalisme dan komunisme, terdapat beberapa pihak yang ingin mengganti Pancasila. Mahfud MD mengatakan jika dalam UUDS 1950 dapat dilakukan penggantian ideologi negara secara konstitusi apabila disetujui oleh 2/3 anggota Konstituante hasil Pemilu 1955. “Saat itu anggota Konstituante bersidang di Bandung selama 3.5 tahun namun tidak ada keputusan sehingga Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran Konstituante dan pengembalian UUD 1945 sebagai dasar hukum karena kenihilan kinerja Konstituante,” ujarnya. 

Selain itu, ketika reformasi bergulir, Habibie membebaskan pembentukan partai dan siapa yang ingin mengganti Pancasila dapat bertarung di MPR. “Namun hasilnya yang menghendaki Pancasila diganti adalah 13% dan sisanya tetap Pancasila. Menurut saya sudah tidak saatnya lagi sekarang kita ingin mengganti Pancasila karena tetap terbukti ideologi ini yang paling cocok dengan Indonesia,” ungkapnya.

Menangkal Radikalisme

Menurut Mahfud MD, tantangan pemerintahan RI saat ini adalah menangkal paham radikal yang berkembang di masyarakat. Untuk itu, generasi muda perlu mengingat “4 DIS” sebagai cikal bakalnya. Pertama adalah disorientasi atau keluar dari tujuan negara. Paham ini muncul ketika gejolak masyarakat mempertanyakan apakah pemerintahan masih berjalan secara relevan atau tidak. Kedua, distrust atau ketidakpercayaan masyarakat dengan pemegang amanah. Ketiga, disobedience atau gerakan membangkang dan perlawanan. Tahap terakhir adalah disintegrasi yaitu pecahnya bangsa dan runtuhnya negara.

Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini menyatakan bahwa potensi perpecahan bangsa sangat mungkin terjadi sehingga pemerintah harus melaksanakan pemerintahan yang adil dan memersatukan bangsa. 

“Mahasiswa yang nantinya akan membangun negara dalam 10-20 tahun lagi harus mempertahankan ideologi ini di tengah dinamika politik di Indonesia sehingga di masa depan negara ini masih bersatu dalam satu keluarga besar Republik Indonesia,” tutupnya.

Reporter: Billy Akbar Prabowo (Teknik Metalurgi 2016)