Melalui Studium Generale KU-4078, ITB Lakukan Upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Kampus

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Radikalisme dan terorisme merupakan ancaman besar yang seringkali menghantui berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Virus radikalisme dan terorisme dapat membahayakan kehidupan bernegara masyarakat Indonesia hingga mengancam kesatuan bangsa Indonesia.

Melalui Studium Generale KU-4078, Institut Teknologi Bandung melakukan upaya pencegahan radikalisme dan terorisme dengan mengundang Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan pada Rabu (8/3/2022) dengan topik bahasan “Bahaya Negara Islam Indonesia: dari Pemberontakan hingga Terorisme".

Ken Setiawan memulai pemaparan materinya dengan menjelaskan tentang tahapan bagaimana seseorang dapat menjadi teroris. “Orang yang menjadi teroris tidak secara langsung dapat menjadi teroris. Pertama, orang tersebut memiliki rasa antitoleransi, antipancasila, dan antikebhinekaan. Kemudian sisi radikalisme dapat berkembang ketika seseorang memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok radikal, dan selangkah lagi menjadi seorang teroris,” ujar Ken.

Selain itu, sifat merasa diri paling benar juga menjadi salah satu bibit dari radikalisme. Sifat ini menjadi hal yang berisiko terjadi pada lingkungan kampus karena kampus adalah pusat ide dan tempat di mana setiap orang bebas untuk mengekspresikan ide dan pemikirannya.

Salah satu gerakan radikalisme yang sempat hidup dalam waktu yang lama di Indonesia adalah Negara Islam Indonesia (NII). Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1940-an di bawah kepemimpinan beberapa tokoh seperti Kartosuwiryo dan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.

Salah satu metode perekrutan anggota NII untuk menarik simpati dan minat masyarakat umum adalah penanaman skeptisme melalui pencarian celah ketidakselarasan dan penyimpangan pemerintahan Indonesia terhadap aturan agama Islam. Melalui penanaman skeptisme ini, NII dapat membuat targetnya berpikir bahwa Indonesia menjalankan pemerintahan yang melanggar aturan agama Islam dan tertarik untuk bergabung bersama NII.

Selain itu, NII juga kerap memanfaatkan “agama” kepada targetnya untuk dicuci otak oleh anggota NII. “Metode ini lebih berbahaya lagi jika dipaparkan pada orang yang sudah memiliki pola pikir antikebhinekaan karena orang tersebut dapat lebih mudah untuk diajak melakukan radikalisme bahkan terorisme,” ujar Ken.

Pencegahan radikalisme ini menjadi urgensi yang sangat besar untuk menyelamatkan kesatuan bangsa Indonesia dan juga masa depan generasi muda. Bukan hanya berpotensi untuk menimbulkan aksi terorisme, bibit radikalisme ini juga menjadi bahaya yang besar karena pemikiran radikalisme yang tidak diaktualisasikan menjadi ujaran kebencian hingga terorisme tidak dapat ditindak secara hukum. Namun, pemikiran yang terus tertanam ini dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak kapanpun. Maka dari itu, berbagai langkah preventif harus dilakukan untuk menghentikan penyebaran radikalisme di Indonesia.


Ken menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan adalah belajar agama Islam dengan benar kepada guru yang benar agar tidak terpapar ajaran Islam yang menyimpang. Lalu, kenali modus pendekatan anggota NII dan kelompok radikalisme lain agar dapat menjauh, meningkatkan pemikiran kritis agar tidak mudah diperdaya, hingga membangun komunikasi yang baik antara orang tua dan anak. Selain itu, kini hadir Lembaga Pusat Rehabilitasi Korban Negara Islam atau NII Crisis Center yang bergerak untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pemaparan radikalisme di Indonesia.

Lembaga Pusat Rehabilitasi Korban Negara Islam Indonesia adalah lembaga resmi yang sudah memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Dirjen Kesbangpol Kemendagri, Badan Kesbangpol Provinsi DKI Jakarta, dan Kesbangpol Kota Administrasi Jakarta Selatan. Pembentukan NII Crisis Center merupakan perwujudan dari tanggung jawab moral anak bangsa karena melihat korban yang terus berjatuhan dari kalangan muda akibat perekrutan gerakan radikal.

NII Crisis Center bergerak mencegah penyebaran radikalisme melalui berbagai medium. Mulai dari sosialisasi, seminar, pelatihan, pengabdian dan konsultasi, rehabilitasi, dan deradikalisasi. “NII Crisis Center memiliki visi terwujudnya masyarakat Indonesia yang aman damai tanpa ideologi radikalisme berbasis agama serta aliran sesat. Dengan mengemban misi memperkuat dan membangun solidaritas terhadap nasib anak bangsa agar tidak terpengaruh oleh aliran sesat yang dilakukan oleh gerakan radikal,” pungkas Ken.

Reporter: Yoel Enrico Meiliano (Teknik Pangan, 2020)