Melihat Peluang Indonesia dalam Menjalankan Bisnis Halal

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Dok. Pribadi


BANDUNG, itb.ac.id - Sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, potensi industri halal di Indonesia sebenarnya sangat besar. Namun hingga saat ini, masih terfokus kepada produk dan belum terlalu terfokus kepada aspek lainnya seperti proses – proses yang berjalan pada suatu industri halal. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi Yuliani Dwi Lestari, Ph.D., dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung untuk mendalami hal tersebut.


Ia sedang mengadakan riset mengenai Global Halal Based Business Development dan mencoba untuk menerapkannya di Indonesia. Saat ini industri halal telah berkembang dan tidak hanya bicara tentang produk saja, namun juga terkait dengan titik kritis pada setiap aktivitas industri di dalam supply chain (dari supplier hingga customer). 

Dua bagian besar dari industri halal adalah product dan supply chain. Dijelaskan Yuliani, product based di Indonesia telah berjalan dengan baik, ditandai dengan adanya peningkatan animo industri yang mendaftar dan telah lulus sertifikasi halal untuk produknya. Sedangkan untuk supply chain, hal ini berkaitan dengan proses logistic (transportasi, pergudangan, retailing) dari suatu industri halal, masih memerlukan sosialisasi rujukan standar yang lebih jelas dan campaign agar lebih banyak logistic provider maupun pelaku usaha yang aware dan aktif menggunakan logistic halal.

“Dalam konteks penguatan rantai nilai ‘halal’ seharusnya diperhatikan mulai dari input bahan baku ke dalam pabrik hingga output dan proses logistic yang dikelola oleh pabrik tersebut,” ujarnya.

Dia menerangkan, tiga perspektif penting yang menjadi dasar utama saat berbicara industri halal adalah regulasi, pasar, serta kesiapan industri. Saat Global Halal Based Business Development ini akan berjalan, peraturan – peraturan yang dibutuhkan hendaknya telah dipersiapkan oleh regulator untuk mengatur dan mendukung berjalannya industri halal tersebut. 

Kedua ialah berbicara soal pasar. Industri halal saat ini tidak hanya terfokus pada makanan saja, tetapi demand dari pasar telah mengalami pergeseran ke arah lainnya seperti kosmetik, obat, fashion, travel, energy dan lainnya. Menurutnya, consument behaviour juga telah berubah saat ini. Dan yang menjadi tantangan lainnya adalah apakah masyarakat non-muslim mau untuk mengkonsumsi produk halal walaupun dengan persepsi cost yang lebih mahal?.

“Dalam beberapa kasus sebenarnya banyak benefit yang bisa didapatkan. Contohnya, menurut hasil diskusi saya dengan masyarakat non-muslim dari berbagai negara di Asia dan Eropa, mereka cenderung tertarik dengan produk halal ini karena terdapat jaminan keamanan yang lebih, manfaat kesehatan dan juga jaminan kualitas yang lebih baik karena aturan – aturan yang telah dibuat sedemikian rupa,” tuturnya. 

Akan tetapi, bagi Yuliani, saat ini sangat perlu adanya campaign untuk mendorong pasar industri halal di wilayah non-muslim lebih familiar. Perspektif terakhir adalah mengenai kesiapan industri, bagaimana memastikan industri dapat menerima keuntungan dengan penerapan industri halal ini? Selain itu, jika penerapan industri halal membutuhkan biaya yang lebih mahal, bagaimana perusahaan mendesain dan mengukur capaian keuntungan dan nilai tambah yang didapatkan? Sisi lainnya, kesiapan kerjasama antara industri, regulator, dan pasar juga perlu ditekankan.

Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia tentu memiliki peluang besar untuk menjalankan industri halal tersebut, namun ada beberapa kendala yang akan dihadapi. Menurut Yuliani, beberapa tantangan tersebut ialah kerjasama antara universitas, regulator, dan industri masih harus ditingkatkan agar memudahkan proses pengembangan. Selain itu, perlu adanya sinergi di antara berbagai sektor di Indonesia sebagai satu kesatuan. Semoga kedepannya industri halal di Indonesia berjalan dengan baik di setiap sektor yang dimiliki oleh negara dan kita dapat menjadi pioneer Global Halal Based Business Development ini,” tambahnya.

Reporter: Christopher Wijaya (Sains dan Teknologi Farmasi, 2016)