Memahami Perencanaan Kota dan Contingent Workers di Tengah Pandemi

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

BANDUNG, itb.ac.id—Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK ITB) mengadakan sesi webinar perdana pada Kamis, 18 Juni 2020. Webinar ini diisi oleh dua orang pembicara yaitu Ridwan Sutriadi, S.T., M.T., Ph.D., sebagai Ketua Program Studi Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB dan Dr. Ir. Wicaksono Sarosa sebagai Ketua Ruang Waktu Knowledge Hub for Sustainable Urban Development dan Anggota Advisory Board SAPPK ITB. Selain itu ada pemateri lain yaitu Dr. Delik Hudalah, S.T., M.T., M.Sc., dari Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Pedesaan SAPPK ITB. Webinar dimoderatori oleh Prof. Ir. Haryo Winarso, M.Eng, Ph.D., dan melibatkan 180-an peserta dari kalangan SAPPK dan non-SAPPK.

Pada sesi pertama, Ridwan Sutriadi menjelaskan mengenai sejarah kajian perencanaan kota. Pada 1990 telah berkembang konsep telecommuting struktur ruang kota yang basisnya bisa melakukan pekerjaan di tempat tinggal. Seiring berjalannya waktu, Amerika mengembangkan aturan contingent workers (pekerja lepas) bisa bekerja dari rumah. Di tahun 1990-an banyak pegiat yang membahas kaitan antara pekerja lepas dan struktur ruang kota, salah satunya terkait job housing balance. Adapun menjelang tahun 2000, muncul konsep ruang kota pekerja lepas dalam konsep job housing balance, yaitu bagaimana membentuk struktur ruang kota yang memiliki lebih dari satu pusat kota agar seimbang.

Tantangan bagi perencana kota, dipaparkan Ridwan, tidak hanya mampu menjawab apa yang telah dan sedang terjadi, tetapi apa yang mungkin terjadi berikutnya dan apa tindakan yang paling tepat untuk menyelesaikannya. Pandemi ini juga memengaruhi perencanaan kota yang menciptakan riset lanjutan mengenai hubungan antara pandemi dan pekerja lepas. “Saat ini kita seperti dipaksa menjadi pekerja lepas karena internet dan keperluan lainnya harus dipenuhi sendiri,” ujar Ridwan.

Pada sesi kedua, Wicaksono menyampaikan terkait kota untuk semua. Saat ini semakin banyak masyarakat yang tinggal di perkotaan, urbanisasi umumnya berkolerasi kuat dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan. Urbanisasi di Indonesia kalah menyejahterakan dibanding urbanisasi di beberapa negara tetangga. Tidak semua pihak menikmati kota, ada yang meraup manfaat dan ada yang terpinggirkan. Menurut Wicaksono, kota dan urbanisasi harus bisa direncanakan, dirancang, dibangun, dan dikelola agar menyejahterakan semua orang di manapun dan kapanpun.

Kerangka dan isi untuk menyejahterakan semua orang ini ditawarkan oleh SDGs dan NUA (New Urban Agenda). “Singkat dan sederhananya, NUA itu menjadi kota untuk semua, kota yang ramah bagi segala usia, keragaman gender, difabel, segala SARA, warga miskin, pendatang, warga wilayah lain, dan generasi mendatang,” ujar Wicaksono.

Dalam konteks kota untuk semua, kota harus menjadi tempat tinggal yang mewadahi semua orang termasuk pekerja lepas. Seperti di masa pandemi ini, banyak yang menjadi pekerja lepas dan lebih nyaman bekerja dari rumah. Kejadian ini akan melambatkan proses urbanisasi tetapi tidak akan menjadi proses deurbanisasi.

Setelah proses pemaparan materi, Delik Hudalah mencoba mengonsolidasikan antara kedua tema tersebut. Menurutnya, konteks pekerja lepas ini merupakan bentuk adaptasi dari perubahan sosio-teknikal secara konvensional seperti disrupsi teknologi dan perubahan lingkungan, contohnya pandemi.

Selain itu, terdapat hal lain yang perlu dipikirkan, yaitu proses rekalibrasi atau proses berpikir kreatif dan inovasi untuk bertahan di situasi seperti ini karena kedua istilah tersebut bisa kontradiktif dan juga bisa bersinergi. Ketika merapkan prinsip SDGs dan NUA, sejauh ini hanya diterapkan secara substantif, tetapi belum digali secara prosedural dan kontekstual karena kota-kota yang masih berkembang di Indonesia masih memerlukan proses prosedural dan kontekstualnya.

Reporter: Diah Rachmawati (Teknik Industri, 2016)