Membangun Karakter Peneliti sebagai Pembawa Perubahan dalam Peradaban

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id — Insan akademik di perguruan tinggi memiliki tanggung jawab yang besar pada kemanusiaan dan peradaban melalui penelitian. Meskipun pada kenyataannya, penelitian dan riset masih sering dianggap sebagai “jalan sunyi” yang enggan dipilih oleh sebagian orang.

Sebagai salah satu tokoh yang terjun langsung dalam penelitian selama bertahun-tahun, Prof. Brian Yuliarto, S.T., M.Eng., Ph.D., dari Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung, membagikan pandangannya tentang penelitian sebagai bagian dari proses menuntut ilmu yang berkelanjutan dalam acara Pembangunan Karakter Pembelajar yang diadakan oleh Program Studi Fisika pada Rabu (31/5/2023).

Menurut Prof. Brian, paradigma lama yang memandang riset sebagai bagian dari syarat akademik dan perolehan gelar sudah tidak lagi relevan saat ini. Numerisasi pencapaian serta titel yang mentereng akan lebih berarti apabila dibarengi dengan bukti sumbangsih bagi masyarakat dalam bentuk hasil riset. Melalui riset pula lah nilai dari seorang insan akademik dapat tercermin.

“Kerja riset yang berkualitas tak hanya mencerminkan nilai dari penelitinya, namun juga menjadi lokomotif perubahan bagi masyarakat luas. Temuan besar merupakan hasil gabungan dari temuan-temuan lain yang lebih kecil sebagai prinsip fundamental yang melandasinya,” ujarnya.

Peneliti-peneliti di seluruh dunia bahu-membahu baik secara langsung maupun tidak langsung saling memberi dan menerima estafet ilmu pengetahuan melalui riset dan penelitian. Maka dari itu esensi riset sebenarnya adalah kerja kolaboratif (collaborative work) yang membutuhkan proses perjalanan panjang hingga akhirnya dapat bermanfaat bagi peradaban.

“Sebuah penemuan yang mengubah peradaban, yang merubah kemajuan zaman, tidak berangkat hanya segelintir orang. Tapi mereka (peneliti) saling menginspirasi melalui temuannya masing-masing,” kata Prof. Brian.

Dalam melakukan riset yang berkualitas dan berkelanjutan, peneliti harus memiliki daya tahan (endurance) yang kuat dalam menghadapi kegagalan. Dari sinilah nantinya akan terbentuk sifat kerja keras dan pantang menyerah yang menjadi sifat fundamental seorang peneliti.

Berbagai kesulitan yang dihadapi dalam riset selayaknya dipandang sebagai wahana belajar sekaligus jembatan kolaborasi, sehingga hasil kerja riset yang dihasilkan lebih sempurna dari sebelumnya. Maka dari itu jaringan relasi serta atmosfer akademik juga merupakan faktor kunci yang mendorong lahirnya riset-riset berkualitas.

Prof. Brian juga menekankan bahwa riset tidak seharusnya dimaknai sebagai beban. Peneliti sejati mampu menemukan kebahagiaan dan kepuasan lewat riset yang dilakukan. Berbagai proses yang dilalui merupakan sarana berkreasi serta jalan menuju hasil yang lebih baik.

Dia mengungkapkan tanpa adanya keterpaksaan, hasil baik yang didapat di akhir dianggap sebagai bonus dari kerja keras dan keingintahuan. Sementara itu, kegagalan dipandang sebagai proses belajar dalam bentuk pengalaman.

“Suatu capaian (riset) yang instan itu mestinya bukan sesuatu yang bagus, karena dia butuh proses. Tentu akan baik kalau bisa cepat. Tetapi kita harus punya mindset berproses ini. Supaya ketika menemui kegagalan dapat dihadapi dengan cukup baik,” jelasnya.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)