Membangun Profesionalisme Sejak Mahasiswa, Tanpa SKS, Tanpa IPK
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB menyelenggarakan webinar untuk memberikan insight bagi para mahasiswa, terutama hal yang perlu disiapkan sejak bangku kuliah. Webinar dengan judul “Membangun Profesionalisme Sejak Mahasiswa, Tanpa SKS, Tanpa IPK” diadakan pada Kamis (16/7/2020) dengan pembicara Gibran Huzaifah selaku CEO eFishery.
Sebagai pendahuluan, Dekan SITH ITB Dr. Endah Sulistyawati mengatakan bahwa sebagai mahasiswa, ada banyak hal yang harus diperhatikan dan dibutuhkan, seperti keterampilan sosial. “Achievement tersebut tidak bisa tiba-tiba, tetapi harus dibangun melalui media seperti himpunan dan unit. Karena hal ini, kami akhirnya mengundang narasumber yang semasa kuliah cukup banyak kegiatannya sehingga berkontribusi terhadap apa yang dicapai selama ini,” ujarnya.
Sebagai pembicara, Gibran Huzaifah Amsi El Farizy merupakan Alumni Biologi SITH angkatan 2007. Sebelum menjadi CEO eFishery, perjuangan yang sangat panjang telah dilalui oleh Gibran hingga bisa meraih pencapaian saat ini. “Perjuangan saya dimulai di ITB. Dari SMA saya, tidak ada yang masuk ke ITB. Tentunya ini membuat saya harus berjuang sendiri dengan segala keterbatasan saya terutama keterbatasan ekonomi,” ujarnya.
Selama berkuliah, berbagai pengalaman telah dilalui oleh Gibran. Saat menjadi ketua ospek jurusan, ia belajar tentang manajemen organisasi dan banyak hal lainnya. Namun di tengah kesibukannya, ia juga pernah mendapat IPK 1,6 saat semester 4. Di situ, ia mulai menyadari bahwa sebagai seorang biologis, ia biasa-biasa saja. “Jadi saya mulai berpikir, kalau saya ingin menjadi seseorang yang great, saya harus menjadi great pada bidang yang saya bisa, yaitu entrepreneurship,” ungkapnya.
Saat semester 6, Ghibran mengambil mata kuliah Akuakultur. Saat itu ia mulai mengenal catfish dan peluang ke depannya. Berbekal motivasi tersebut, akhirnya Gibran mencari kolam dan mulai menebar ikan. Ia berhasil melakukan panen sebanyak 130 kilogram. Namun, ia cukup kesulitan untuk menjualnya. Akhirnya ikan tersebut dijual ke tengkulak dengan keuntungan seribu per kilo, dengan waktu panen dua bulan sekali (65 ribu sebulan).
“Saya merasa keuntungan ini kecil, lalu saya pikirkan bagaimana saya bisa create pasar sendiri. Akhirnya saya buat suatu usaha, dengan menggunakan ikan hasil panen yang difillet. Namanya adalah Dorri. Outlet pertama Dorri berada di Tubagus Ismail dengan menu fish and chips. Kurang laku, namun saya tidak menyerah dan coba buat di Gelap Nyawang, Parahyangan, serta beberapa tempat lain (5 outlet). Dari situ, keuntungan mulai didapat. Setelahnya, saya buat brand tambahan yaitu Le’box (lele in the box). Usaha saya bertumbuh terus, dan akhirnya saat lulus saya memiliki 5 outlet dan 76 kolam ikan untuk budidaya. Walau begitu, saya tetap lulus dengan baik, dengan IPK 3,21. Saya berhasil mencapai target yang diberikan oleh orangtua,” ujar Gibran.
Setelah lulus, Gibran mulai belajar banyak dari pembudidaya ikan besar. Salah satu permasalahan dalam budidaya ikan di ribuan kolam adalah pakan. Saat itu ia mulai terpikirkan ide dari obrolan sederhana tentang kontrol pakan dengan handphone. “Saya merasa ini peluang, di mana teknologi serupa belum ada di Indonesia. Akhirnya saya coba membuat aplikasi untuk mengontrol pakan ikan, karena masalah pembudidaya adalah pakan yang bisa menyebabkan kandungan amonia berlebih sehingga air menjadi rusak dan ikan mati,” ujarnya.
Dari situ, perjalanan eFishery dimulai. Gibran mulai menyewa garasi dan merekrut anak SMK untuk menghasilkan prototype eFishery. Awalnya, perintah untuk memberi pakan ikan dilakukan melalui SMS dan dibalas melalui fitur Auto Reporting. Konsep ini yang ditawarkan kepada para pembudidaya. Akhirnya, bisnis ini berjalan. Gibran mulai bekerja sama dengan teman alumni jurusan elektro dan merekrut engineer juga.
Sekarang, sistem eFishery adalah smart feeding machine (pemberi alat makan otomatis) yang terhubung ke detektor nafsu makan ikan dan juga mobile-first cloud dashboard. Nafsu makan ikan dideteksi dari perilaku ikan serta sensor suara saat ikan makan. Aplikasi eFishery juga telah ada sejak tahun 2015 yang mengandung informasi mengenai jenis ikan, jumlah ikan mati, dan hasil panen. Dari data tersebut, eFishery bisa melakukan perhitungan secara terstruktur. Sekarang, eFishery sudah ada di 24 provinsi dan 180 kota di Indonesia.
Di luar Indonesia, eFishery juga sudah running pilot di Thailand, Bangladesh, Vietnam, India, serta Singapura. “Autofeeder sebenarnya menjadi starting point untuk mendapatkan data. Dari data tersebut kita tahu pembudidaya yang bagus, lalu risiko eksternal seperti cuaca juga bisa dipertimbangkan. Kemudian kita hubungkan ke perbankan agar bisa diberikan pinjaman. Program ini disebut eFishery Kabayan (Kasih, Bayar Nanti). Bahasa keren dari paylater,” ujar Gibran.
Melalui eFishery, Gibran telah memenangkan banyak penghargaan. Mulai dari Get in the Ring pada tahun 2014 di Rotterdam, kemudian Gibran meraih Forbes 30 Under 30 Asia: Industry, Manufacturing, and Energy, serta mendapatkan Ganesa Widya Jasa Utama tahun 2017.
“Yang lebih membahagiakan adalah bukan hanya pembudidaya saja, namun keluarganya juga terbantu. Ada cerita tentang salah satu pembudidaya, berkat bantuan eFishery ekonominya meningkat dan bisa menyekolahkan anaknya ke SBM ITB. Anak tersebut akhirnya dapat membantu mengelola usaha ayahnya secara profesional. eFishery tidak hanya memberi impact personal, tetapi ke generasi masa depan, dan dampak ke masyarakat menjadi lebih luas. Semuanya memang dari ide celetukan, dari nol, tapi sekarang telah tersebar luas di mana-mana,” tambah Gibran.
Reporter: Christopher Wijaya, Sains dan Teknologi Farmasi 2016