Mengamati Langit Malam, Mengenang Jejak Kehidupan di Alam Semesta
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Acara pengamatan langit malam episode ke-5 yang diadakan oleh Observatorium Bosscha dilaksanakan pada Sabtu (28/8/2021). Acara yang berjudul “Jejak Kehidupan di Alam Semesta” ini bertujuan agar kita bersama-sama dapat mengamati langit malam sembari menambah ilmu bersama astronom. Acara ini menghadirkan beberapa figur penting yakni Prof. Dr. Taufiq Hidayat, DEA., selaku astronom dan dosen Astronomi ITB, Agus Triono P. J. dari Observatorium Bosscha, serta Zulkarnain dari Kupang selaku astronom amatir.
Observatorium Bosscha sendiri adalah observatorium modern pertama dan tertua di Indonesia yang didirikan pada 1923. Tujuan dari pembangunan observatorium ini adalah untuk memajukan ilmu astronom Bumi bagian selatan. Tempat ini dilengkapi dengan berbagai teleskop dan instrumen pendukung, fasilitas komputasi, dan tak lupa berbagai macam pustaka yang digunakan untuk penelitian.
Sebelum masuk ke materi utama, pengantar mengenai revolusi dalam sains khususnya tentang astronomi dipaparkan oleh Tiara Andamari sebagai pembawa acara. Disampaikan interpretasi mengenai bintang-bintang, langit, Bumi, dan alam semesta yang lahir dari kebudayaan peradaban kuno. Disampaikan pula beberapa teori dari ilmuwan astronomi peradaban kuno yang memiliki beragam model dan gagasan mengenai tata surya.
Pada paparan pertama, Prof. Taufiq menerangkan tentang jejak kehidupan di alam semesta. “Kehidupan di Bumi dari kacamata sains serta apa yang dipahami oleh sains tidak muncul begitu saja. Kehidupan di Bumi merupakan produk dari evolusi yang sangat panjang. Makhkuk hidup kompleks baru ada sekitar 540 juta tahun yang lalu, ketika usia Bumi kita sudah lebih dari 4 milyar tahun,” paparnya.
Kehidupan ini memiliki beberapa molekul yang tersusun dari atom karbon, membutuhkan sumber esensial berupa air, juga membutuhkan sumber energi seperti sinar matahari. Mencari kehidupan lain di luar bumi secara sederhana adalah dengan melihat tata surya. Para ilmuwan banyak memperdebatkan bahwa di Mars, Europe, Titan, dan Venus juga terdapat kehidupan.
Namun, masih terdapat pro dan kontra dalam setiap pernyataan ilmuwan tentang ada tidaknya kehidupan di planet lain. Sebagai contoh, seorang ilmuwan yang menemukan kanal di Mars dan menyatakan bahwa kemungkinan dapat terjadi kehidupan di Mars dibantah dengan beberapa pernyataan lain.
”Ternyata planet Mars bukanlah tempat yang nyaman untuk ditinggali jika dibandingkan dengan Bumi. Mars memiliki suhu yang sangat dingin dan atmosfer yang sangat tipis sehingga memungkinan radius ultraviolet dan partikel dari matahari dengan mudah datang dan sampai ke permukaan,” jelas Taufiq.
Selain itu, terdapat atmosfer yang berbeda antara Bumi dengan Mars meskipun pada zaman dahulu Bumi juga didominasi oleh karbon dioksida sama seperti Mars. Hanya saja, karena terjadi evolusi, kini Bumi didominasi oleh oksigen. “Sampai saat ini, dari penelitian di planet Mars, kita belum mendapatkan bukti. Oleh karena itu, ke depannya akan terus dilakukan pencarian dengan pendaratan di daerah yang semakin potensial. Adanya jejak air menjadi target lebih lanjut,” ungkapnya.
Di sela-sela paparan, terdapat pula pengamatan Jupiter yang disiarkan langsung dari Obervatorium Bosscha oleh Agus PJ. Pada pengamatan tersebut, terlihat planet Jupiter. Namun gambarnya sedikit berguncang karena adanya turbulensi udara. Terlihat pula garis pada penampakan Jupiter yang berasal dari awan akibat rotasi Jupiter. “Jika Bumi berotasi sehari 24 jam, Jupiter hanya 10 jam,” jelas Agus. Ia juga menambahkan bahwa sebenarnya ada satu fitur lagi dari Jupiter, yaitu great red spot, tetapi tidak terlihat pada malam tersebut.
Paparan selanjutnya mengenai Jupiter, Europa, Io, Titan, dan Venus dijelaskan secara detail oleh Prof. Taufiq. Di Jupiter, terdapat lingkungan yang sangat aktif. Di Europe, terbentuk retakan serta terdapat satu garis permukaan saling tegak lurus yang hampir mirip dengan garis pantai pada musim dingin. Di Titan, selalu terdapat selimut kabut yang bercampur senyawa organik. Hal ini membuatnya berbeda dari yang lain.
Di sisi lain, Venus pun memiliki selimut kabut seperti Titan. Ketebalannya mencapai 70 meter. Kandungannya adalah asam sulfat. Beberapa logam yang diletakkan pada bagian permukaan Venus akan mengalami pelelehan karena tingginya tekanan dan suhu permukaan. Besarnya berkali-kali lipat melebihi besaran di Bumi. “Namun, dalam kondisi yang sangat ekstrem, belum tentu makhluk hidup tidak bisa menoleransi,” jelasnya.
Prof. Taufiq juga menyampaikan paparan tentang Galaksi Bima Sakti, pembentukan bintang dan planet, hingga eksoplanet (planet di luar tata surya). Rangkaian paparannya ditutup dengan uraian mengenai peradaban cerdas menggunakan teknologi. “Telah banyak ditemukan bintang, tetapi adakah kehidupan cerdas di dalamnya?” Taufiq melempar pertanyaan retorika.
“Search for extraterrestrial intelligence atau SETI berarti pencarian mahkluk-mahkluk di alam semesta ini. Tidak terbatas pada mencari kehidupan saja, tetapi sampai mencari kehidupan kompleks. Bahkan, yang dicari di antaranya adalah kehidupan cerdas,” tutur Taufiq.
Agus kemudian menambahkan sekaligus menutup, “Ketika mencari kehidupan, kita tidak hanya terpaku pada kehidupan di tata surya. Kita juga menjangkau ke luar, baik itu dalam nebula maupun planet-planet di bintang lain,” ujarnya.
Pengamatan malam itu diakhiri dengan melihat penampakan Blue Horsehead Nebula (IC 4592). Namun, objek tersebut tidak terlihat dengan jelas karena beberapa faktor. “Salah satunya adalah karena objek yang dituju termasuk dalam nebula refleksi. Akibatnya, diperlukan eksposur atau kamera yang tingkat sensitivitasnya lebih tinggi. Faktor lainnya adalah adanya refleksi cahaya dari lampu jalan,” terang Zulkarnain.
Reporter: Zahra Annisa Fitri (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)