Mengintip Tradisi Lebaran Ala Rektor ITB, Prof. Kadarsah Suryadi

Oleh Fivien Nur Savitri, ST, MT

Editor Fivien Nur Savitri, ST, MT

Bandung, itb.ac.id - Melanjutkan tradisi Rektor ITB periode sebelumnya, Prof. Kadarsah Suryadi di setiap momen Hari Raya Idul Fitri, mengadakan Open House di rumah dinasnya, jalan Dago, Kota Bandung. Beliau memberikan kesempatan bagi para civitas akademika ITB, kolega, serta masyarakat umum untuk bertemu dan bersalam-salaman secara langsung.

Namun, sebenarnya bagaimana tradisi Prof. Kadarsah Suryadi dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri bersama keluarganya? Mari kita simak wawancara Humas ITB bersama Rektor ITB, Prof. Kadarsah Suryadi, pada hari Senin (11/6/2018), di kediaman beliau, Cibeunying Kolot, Cigadung, Kota Bandung.



Selamat pagi Pak Rektor. Apa kabar Pak?

Alhamdulillah kabar baik sekali.


Bapak, boleh diceritakan sedikit apa makna Idul Fitri bagi bapak?

Idul Fitri memberikan makna religi yang sangat mendalam bagi diri saya. Kita selama satu bulan menjalani ibadah puasa, dengan berbagai exercise fisik maupun psikologis, dari mulai latihan menahan haus dahaga, menahan lapar, menahan rasa kantuk ketika bangun sahur, menahan dan mengendalikan emosi, berlatih kesabaran, meningkatkan rasa empati dan kepedulian sosial, meningkatkan rasa kasih sayang kepada mereka yang kurang beruntung, meningkatkan silaturahmi dan berusaha untuk semakin mendekatkan kepada Allah SWT, Sang Kholiq. 


Maka Idul Fitri merupakan momen untuk merayakan momen berakhirnya sejumlah excercise yang multidimensi tersebut. Sehingga sangat tepat kalau disebut sebagai Hari Kemenangan, karena kita telah melewati berbagai latihan dan ujian selama bulan Ramadan. Semoga Allah SWT meridhoi ibadah kita sehingga kita bisa  kembali kepada kesucian, dimana dalam Idul Fitri setiap orang tanpa rasa gengsi tanpa ragu, meminta maaf atas kesalahan kepada setiap orang. 

Ini bermakna bahwa Idul Fitri merupakan momen untuk membersihkan diri dari segala kekhilafan melalui permohonan maaf kepada semua orang. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan kita setelah kita memohon maaf dari sesama. Aamiin...


Menyambut Idul Fitri, hari raya kemenangan bagi umat muslim di seluruh dunia, persiapan apa yang menjadi tradisi di keluarga bapak?

Tradisi yang ada di keluarga adalah biasanya menjelang Idul Fitri selalu menjadwalkan untuk mudik dalam rangka merayakan Idul Fitri bersama orang tua secara bergiliran, tahun depannya bersama mertua. Setelah orang tua di Kuningan meninggal dunia, tradisi lebaran dirayakan di rumah mertua di Bogor. Alhamdulillah, sudah sejak beberapa tahun, ibu mertua berkenan untuk tinggal bersama kami di Bandung. Maka kini Idul Fitri bisa dirayakan di rumah di Bandung bersama ibu mertua dan saudara-saudara.


Apa menu makanan yang bapak tunggu-tunggu saat Idul Fitri tiba?

Menu makanan yang ditunggu-tunggu terdiri dari dua jenis. Jenis pertama menu kesukaan istri saya sesuai tradisinya di Bogor, seperti ketupat, semur ayam, sambel goreng kentang plus ati plus sedikit petai, dan sayur kacang. Jenis kedua, menu sesuai tradisi saya di Kuningan, seperti acar ikan gurame, gule kambing, sate kambing, sate ayam, sop buntut, jus alpukat, es cingcau.


Sebagai Rektor ITB, tentunya Bapak punya banyak sekali kesibukan. Tips apa yang bisa Bapak bagi agar tetap sehat dan fit? Apakah Bapak tetap berolahraga di bulan puasa? Olahraga apa yang Bapak gemari terutama selama bulan Ramadhan?

Agar tetap fit, pertama cukup tidur. Kedua, olah raga rutin diusahakan setiap hari. Kalau di rumah selalu setiap pagi menyempatkan naik sepeda statis, tidak lama, sekitar 20-30 menit, atau kalau pagi tidak sempat, maka malamnya setelah pulang kantor naik sepeda statis. 


Kalau ada waktu yang cukup, diusahakan renang atau jalan kaki di Saraga atau di Car Free Day. Begitu pula, jika bepergian ke luar kota, diusahakan tidur di kendaraan, karena saat dalam perjalanan adalah waktu yang  kurang produktif, sehingga waktu tidak produktif ini dikompensasi dengan tidur, agar ketika sampai ke tujuan maka badan segar kembali. Kalau ada waktu kosong juga dipakai untuk dengarkan lagu sehingga bukan hanya fisik, tapi mental pun terhibur.


Saat-saat menjelang Idul Fitri, mudik menjadi salah satu tradisi tahunan sebagian besar masyarakat Indonesia yang beragama islam. Bagaimana pendapat Bapak mengenai fenomena mudik ini?

Mudik merupakan tradisi yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Mudik menjadi kesempatan untuk mengembalikan memori masa kecil, masa indah yang tidak akan terulang lagi. Mudik merupakan momen untuk berbagi kebahagian bersama orang tua, saudara, kakak adik, beserta keluarga besar, dengan sahabat kecil, dan menghirup udara yang tidak didapatkan di kota. Mudik menjadi “obat” penyegar dan penyemangat, seperti di charge, maka semangat akan tumbuh kembali.


Apa kenangan manis masa kanak-kanak, yang mungkin paling mengharukan bagi Bapak, saat berkumpul bersama keluarga, orang tua, dan saudara untuk merayakan Idul Fitri? 

Kenangan masa kecil adalah ketika kita menjalani buka puasa bersama orang tua dan kakak adik, pada hari terakhir Ramadan. Orang tua menyiapkan semua jenis makanan kesukaan masing-masing anak. Kemudian mendengar suara takbir diiringi suara bedug yang sayup-sayup dan makin malam semakin marak. Lalu di belakang rumah ada surau RT, di surau itulah kami anak-anak bergiliran pegang mic untuk mengumandangkan takbiran... Saat menyenangkan adalah 2-3 hari sebelum Idul Fitri diajak ayah ke toko untuk beli sepatu dan sandal baru. Lalu pasang kembang api di halaman rumah. 


Sebagai seorang ayah, seorang suami, dan juga orang nomor satu di ITB, bagaimana Bapak bisa membagi waktu dengan baik ?

Ketika hari-hari pertama bertugas mendapat amanah menjadi Rektor ITB, saya sudah sampaikan ke anak-anak dan istri bahwa waktu saya akan banyak tersita untuk urusan kantor. Hari Sabtu dan Minggu diusahakan untuk bikin kegiatan bersama anak dan istri. Ini suasana yang dirindukan, suasana kebersamaan dengan yang di rumah. Kalau sedang tugas luar kota, diusahakan untuk komunikasi dengan anak dan istri, biasanya malam hari sebelum tidur.


Bapak dikenal sebagai sosok yang ramah, rendah hati, straightforward, dan menginspirasi banyak orang. Apa tanggapan Bapak?

Saya selalu berpikir, bagaimana caranya bisa bermanfaat untuk orang banyak. Dan pada prinsipnya organisasi tidak bisa dijalankan hanya oleh sendirian. Maka diperlukan kebersamaan dengan semua teman yang mendapat amanah mengurus ITB. Kebersamaan, akan terbangun kalau kita saling komunikasi dan saling mengisi. Untuk itu saya merasakan pentingnya untuk berkomunikasi dengan banyak mendengar dari semua pihak. Dengan mendengar akhirnya kita akan lebih mudah dalam memahami dan mencari solusi setiap persoalan yang ada.


Pertanyaan terakhir ini Pak Acah, apa yang ingin Bapak sampaikan kepada civitas akademika, dan pembaca laman ITB, dalam rangka mengisi libur yang cukup panjang ini, untuk menyambut Idul Fitri 1439 H?

Kepada segenap keluarga besar ITB yang saya banggakan dan saya cintai. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H. Mohon maaf lahir dan bathin. Taqoballallahu mina wa minkum. Semoga Allah SWT melimpahkan Rahmat dan Ridho-Nya kepada kita semua. Semoga ITB semakin bermanfaat untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia.


Aamiin...



Prof. Kadarsah Suryadi bersama istri (Ibu Ina) di kediamannya, Cigadung, Bandung.

Foto: Dokumen Pribadi (Prof. Kadarsah Suryadi)