Mengungkap Fenomena Pergerakan Tanah di Bandung Barat: Peneliti ITB Tegaskan Bahaya Luapan Sungai Cidadap

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

Dr. Eng. Imam Achmad Sadisun, S.T., M.T. memaparkan karakteristik longsoran. (ITB/Fadila As-syifa Febriana)

BANDUNG, itb.ac.id - Ahli longsoran (landslide) Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Eng. Imam Achmad Sadisun, S.T., M.T., mengatakan bahwa terjadinya bencana alam berupa pergerakan tanah di Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, pada Senin (19/2/2024), dapat menyebabkan bahaya ikutan atau collateral hazard berupa meluapnya Sungai Cidadap akibat terbendungnya aliran sungai tersebut oleh pergerakan tanah susulan.

Bahaya ikutan pada hakikatnya merupakan bahaya yang dapat muncul yang diakibatkan oleh kejadian bahaya utama. “Pergerakan tanah atau longsoran ini cukup unik karena terjadi di morfologi bukit yang terisolasi,” ujarnya.

Morfologi berupa bukit yang dilingkupi oleh lereng-lereng di sekelilingnya dan dengan keberadaan permukiman di dalamnya dapat meningkatkan risiko bagi penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Terlebih lagi pada bagian selatan dari wilayah pemukiman tersebut terdapat Sungai Cidadap yang melintang. Kondisi ini menyebabkan potensi bahaya pergerakan tanah akan lebih besar. Jika tanah bergerak terus-menerus dan terjadi longsoran lagi, aliran Sungai Cidadap dapat terbendung.

Terkait dengan faktor penyebab, secara umum terdapat dua hal yang menyebabkan longsoran terjadi, yakni faktor pengontrol dan faktor pemicu. Faktor pengontrol umumnya berkaitan dengan kejadian-kejadian yang berlangsung relatif dalam jangka panjang seperti pelapukan, erosi, dan perubahan tata guna lahan. Sementara itu, faktor pemicu berkaitan dengan kejadian-kejadian jangka pendek atau bahkan seketika seperti hujan ekstrem dan gempa bumi.

Beliau mengatakan bahwa wilayah Kabupaten Bandung Barat merupakan wilayah dengan potensi terjadinya longsoran yang tinggi hingga sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh kondisi geologis yang sebagian besar terdiri atas perbukitan dan pegunungan, serta karakteristik tanah dengan pelapukan yang cukup tebal. Pada beberapa bagian juga terdapat jenis-jenis batuan yang memiliki karakteristik relatif mudah mengalami penurunan kekuatan dan mudah berperan sebagai bidang gelincir, seperti batu lempung dan batu lanau. Terjadinya hujan dengan intensitas yang tinggi di bulan Februari juga dapat memicu terjadinya longsoran di daerah tersebut.

Dr. Ir. Vera Sadarviana, M.T. memaparkan hasil citra satelit yang menunjukkan potensi terjadi longsor. (ITB/Fadila As-syifa Febriana)

Adapun kajian secara geometri berdasarkan perspektif keilmuan geodesi disampaikan oleh Dr. Ir. Vera Sadarviana, M.T. dari kelompok keahlian Sains Rekayasa dan Inovasi Geodesi. Beliau mengatakan, citra satelit yang diambil di wilayah tersebut pada tahun 2020 menunjukkan kemungkinan bencana ini akan terjadi. “Data citra satelit yang diambil pada tahun 2020 menunjukkan morfologi menyerupai gundukan di bagian kaki longsoran. Perubahan elevasi yang membentuk gundukan ini mencirikan indikasi proses terjadinya longsoran, yang biasanya dibarengi oleh adanya indikasi penurunan elevasi di bagian kepala longsoran,” ujarnya.

Citra satelit Kampung Cigombong, Desa Cibedug, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat. (Google Earth)

Kemudian terdapat juga area terbuka yang tidak tertutup oleh vegetasi di bagian puncak bukit yang dapat menjadi perhatian. “Fenomena ini dapat dipelajari lebih lanjut karena vegetasi dapat memainkan peran penting dalam proses infiltrasi air hujan (fungsi hidrologis),” ujar Dr. Eng. Imam A. Sadisun.

Beliau pun mengatakan bahwa pergerakan tanah atau longsoran merupakan fenomena yang bersifat global atau dapat dijumpai di berbagai belahan dunia dan umumnya memiliki ciri unik untuk setiap tempat kejadiannya.

“Tidak ada obat generik untuk mitigasi bahaya longsoran sehingga untuk mengetahui kemungkinan terjadinya longsoran di suatu wilayah tertentu, perlu dilakukan kajian secara seksama terkait faktor-faktor penyebabnya. Biasanya diawali dengan melakukan zonasi potensi terjadinya longsoran (landslide susceptibility) berdasarkan penilaian berbagai faktor-faktor penyebabnya, kemudian dilakukan kajian terkait tingkat kestabilan lereng berdasarkan nilai faktor keamanannya (safety factor), dengan mempertimbangkan geometri lereng, kekuatan geser material pembentuk lereng, beserta gaya-gaya lain yang ada dalam sistem lereng, untuk menentukan apakah lereng tersebut stabil atau tidak,” ujarnya.

Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk bisa memahami gejala-gejala alam yang ada, mengingat masih adanya potensi terjadinya longsoran susulan dan bahaya ikutan lainnya berupa tertutupnya aliran Sungai Cidadap, yang dapat meluap dan menyebabkan banjir di sekitar bantaran sungai tersebut.

Reporter: Fadila As-syifa Febriana (Teknik Geodesi dan Geomatika, 2021)