Menilik AYVP 2017 Dari Kacamata Peserta
Oleh Zoealya Nabilla Zafra
Editor Zoealya Nabilla Zafra
BANDUNG, itb.ac.id – Seperti yang telah diketahui masyarakat luas, regional ASEAN merupakan daerah yang rentan terkena bencana alam. Indonesia dan Filipina tergabung dalam Cincin Api Pasifik, kondisi kawasan gunung berapi tersebut yang berpotensi gempa. Selain itu, bencana banjir dan longsor di Malaysia, Indonesia, dan Laos; angin puting beliung di Filipina; serta kebakaran hutan di Indonesia hanyalah beberapa contoh dari ragam bencana alam di ASEAN.Sayangnya, persiapan menghadapi bencana alam belum diketahui masyarakat seluas berita mengenai bencana-bencana itu sendiri. Hal inilah yang berusaha dipecahkan oleh ASEAN dalam (AYVP) 2017, dengan mengambil tema Disaster Risk Reduction (DRR) atau Pengurangan Risiko Bencana Alam.
AYVP 2017 yang diselenggarakan oleh Sekretariat ASEAN berkolaborasi dengan United States Agency for International Development (USAID) ini diselenggarakan selama 26 hari (01-26/08/17). Kegiatan ini berlokasi di Desa Lembang dan Kelurahan Cigadung sebagai situs hands-on peserta. kegiatan ini diikuti oleh 50 peserta hasil seleksi dari 1.850 pemohon. Kelimapuluh wakil negara-negara ASEAN ini didampingi oleh 10 fasilitator dari Indonesia yang sudah mempunyai pengalaman dalam penanganan bencana alam. Ninh (26) dari Vietnam menyatakan bahwa dirinya memang tertarik menjadi sukarelawan. “I love volunteering!”
Berlatar belakang dari seringnya badai di Vietnam, Ninh tertarik untuk menciptakan peta banjir yang menerima input ketinggian banjir dan mengeluarkan output berupa area yang akan mengalami banjir dengan data ketinggian yang diinput. Untuk itu, Ninh menggunakan data flood traces dan data topografi Vietnam dengan memanfaatkan Geographic Information System (GIS).
Tujuan dari peta banjir Ninh adalah untuk memudahkan proses evakuasi. Dengan mengetahui area mana saja yang akan mengalami banjir, penduduk area tersebut dapat dipindahkan ke daerah lain sebelum banjir terjadi sehingga meminimalisir korban jiwa dan materil. Menurut Shikin (20), ia mengikuti program ini karena adanya hubungan dengan diplomanya. “The reason why I joined this program is because it’s related to what I’ve learned at Business and Social Enterprise, so I wish to be able to contribute a little bit of something when I’m here,” jelasnya.
Gin (22), seorang penyintas Angin Topan Haiyan 2013, mengaku telah memiliki ide yang dinamakan Project Educate. Proyek ini memiliki fokus di ilmu mengenai persiapan menghadapi bencana alam, cara-cara mengevakuasi diri sendiri dan orang lain, serta ilmu kepemimpinan. Konsentrasi utamanya adalah di bidang edukasi. “Because I always believe as cliche as it may sound, education is really the key in empowering people and making them realize how serious climate change and disaster risk reduction management is when it comes to the sustainability of the community,” ujar Gin. Tujuan dari proyek tersebut adalah untuk menggiatkan anak muda untuk mengembangkan kemampuan memimpin dan ikut serta dalam komunitas mereka melalui kegiatan suka rela dalam perihal pengurangan risiko dan penanganan bencana alam. Proyek ini nantinya akan bermitra secara langsung dengan asosiasi mahasiswa ilmu politik universitas dimana Gin menyelesaikan program sarjananya dan universitas itu sendiri. Juga, Gin berharap agar proyek ini dilirik oleh National Disaster Risk Reduction Management Council of The Philipphines dan unit-unit pemerintah lokal Filipina, dan akademisi untuk memberikan pengetahuan yang sesuai.
Menurut Gin, agar Project Educate dapat berjalan lancar, hal yang perlu ditekankan adalah pengembangan potensi kepemimpinan anak muda. Menurutnya, walaupun anak muda di Filipina mempunyai ide-ide cemerlang, mereka cenderung dibatasi oleh lingkungan. “because of the lack of support, lack of mentorship, lack of funding.” Fokus dari proyek ini adalah melakukan uji coba ke tiga komunitas daerah pesisir yang dikategorikan sebagai daerah berbahaya. Karena, walaupun masyarakat di daerah tersebut sudah mengetahui risiko tinggal di tempat-tempat tersebut, tetap sulit untuk melakukan relokasi karena sumber mata pencaharian mereka yang berada di area tersebut. Program AYVP 2017 diyakini akan terus berlanjut bahkan setelah empat minggu terselesaikan, karena para pendiri AYVP akan terus memantau kegiatan para peserta setelah mereka kembali ke negara masing-masing. Laporan perkembangan proyek masing-masing peserta akan terus diterima oleh para pemimpin ASEAN. Harapannya, seluruh proyek dapat memberikan perkembangan signifikan ke negara masing-masing.