Menjaga Ketahanan Pangan Pascapandemi COVID-19
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) daerah Sumatera Utara menyelenggarakan webinar dengan tema “Kemandirian Pangan Berbasis Sumber Daya Hayati Lokal di Era New Normal Pascapandemi COVID-19” pada Sabtu, 20 Juni 2020. Kegiatan tersebut bertujuan untuk berbagi ide dari pemerintah dan semua pemangku kepentingan dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan pangan yang ada.
Webinar ini mengundang tiga pembicara, salah satunya dosen prodi Rekayasa Pertanian ITB, Ramadhani Eka Putra, Ph.D. Dalam paparannya, ia menjelaskan, pada 2050 penduduk dunia akan bertambah 2 miliar, maka dari itu produksi pangan harus ditingkatkan sebesar 70 persen. Dalam peningkatan pangan ini tentu saja akan dihadapkan dengan constraint. “Menurut prediksi United Nations, pada 2050, maksimal hanya terdapat 20 persen daerah yang bisa ditanami sehingga akan menimbulkan krisis pangan atau mungkin sebenarnya bahan pangan itu ada hanya saja akses untuk mendapatkannya menjadi sulit,” ucap pria yang akrab dipanggil Rama ini.
Prediksi yang dipaparkan oleh Rama tentu saja sudah menyertakan variabel pandemi di dalamnya. Seperti yang kita ketahui, pandemi COVID-19 membuat segalanya berubah tanpa ada persiapan apapun. Hal ini terjadi di Negara Ukraina sebagai salah satu negara penghasil gandum terbesar di dunia saat menghadapi pandemi COVID-19. Warga negara Ukraina memiliki ketergantungan akan makanan berbahan dasar gandum, namun saat pandemi berlangsung para petani tidak ingin menjual gandum yang telah diproduksi. Mereka menyimpan gandum tersebut untuk dikonsumsi sendiri. Sehingga, gandum menjadi barang langka dan orang nonpetani gandum mengalami kesulitan akses untuk mendapatkannya.
Agar Indonesia tidak mengalami hal seperti itu, dalam webinar tersebut Rama mengusulkan solusi untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia dengan cara sebagai berikut:
1. Belajar sains dan teknologi
Simpelnya pertanian merupakan proses merubah energi dari matahari menjadi senyawa karbon yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Namun dengan belajar sains dan teknologi memungkinkan untuk membangun model matematika dan algoritma sehingga produksi pertanian menjadi terotomatisasi dan maksimal. Dengan begitu diharapkan kebutuhan pangan menjadi terpenuhi dan menimimalisir kelangkaan pangan.
2. Home Gardens
Merupakan sistem pertanian lokal khas Indonesia yang dapat ditemukan pada sebagian besar daerah rural di Indonesia. Konsep sistem pertanian ini ialah dengan menanam tanaman yang bisa dikonsumsi di pekarangan rumah sehingga tiap rumah tangga bisa mengakomodasi kebutuhan pangannya sendiri. Namun pada zaman sekarang sistem pertanian ini sulit ditemukan karena orang-orang lebih memilih menanam tanaman hias dibandingkan dengan tanaman yang bisa dikonsumsi.
3. Hyper Urban Farming
Dilakukan di daerah urban dengan kepadatan penduduk dan aktivitas ekonomi sangat tinggi yang menggabungkan inovasi, konsep permakultur dan micro-scale bioscience. Namun sistem pertanian ini belum banyak dilakukan di Indonesia karena keterbatasan teknologi.
4. Hydroponics and Aquaponics
Sistem pertanian yang menghilangkan unsur tanah di dalamnya sudah banyak dilakukan di Indonesia namun diversitas produknya masih rendah.
5. Forest Gardening
Merupakan sistem produksi makanan dan sistem manajemen lahan yang meniru ekosistem hutan. Pohon dan tumbuhan liar diganti dengan pohon buah, semak, herba, dan sayuran.
Dari kelima solusi tersebut, Rama mengatakan, ada dua hal yang bisa dilakukan warga Indonesia untuk menjaga ketahanan pangan secara mandiri yaitu home gardening dan hydroponics atau aquaponics. “Untuk orang-orang di luaran sana, saran saya sebaiknya gantilah tanaman hias menjadi tanaman yang bisa dikonsumsi dan bermanfaat langsung bagi manusia. Misalnya, di pekarangan rumah tanamlah pohon mangga, jambu, rambutan, atau mungkin nangka. Pohon nangka banyak manfaatnya”, ujar Rama seraya berpesan kepada orang-orang yang hendak memulai home gardening, bahwa harus sabar dan rajin apabila mau memulai bercocok tanam.
Reporter: Ditasari Almaidah (Teknik Industri, 2018)