Menko Perekonomian Darmin Nasution: Hasil Pengembangan Lab Katalis ITB Bisa Hemat Devisa Negara

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Menteri Koordinator bidang Perekonomian RI, Darmin Nasution bersama Prof. Subagjo selaku Guru Besar Fakultas Teknologi Industri ITB di Lab Industri Katalis Pendidikan ITB. (Foto: Adi Permana/Humas ITB)


BANDUNG, itb.ac.id - Menteri Koordinator bidang Perekonomian RI, Darmin Nasution, mengunjungi Laboratorium Industri Katalis Pendidikan, Teknik Reaksi Kimia dan Katalis (TRKK) ITB, Jalan Ganesa No. 10 Bandung, Jumat (6/9/2019). Kunjungan tersebut merupakan yang ke-11 kali dari menteri-menteri di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Dalam kunjungannya, ia melihat proses pembuatan katalis di lab tersebut yang dalam kurun waktu lima tahun ini telah mengembangkan katalis untuk konversi minyak sawit menjadi BBN (Bahan Bakar Nabati), diesel nabati, avtur nabati, dan bensin nabati. Pada kesempatan tersebut, Prof. Subagjo selaku Guru Besar Fakultas Teknologi Industri ITB menjelaskan secara langsung tentang proses produksinya.

Setelah melakukan kunjungan, dalam sambutannya mengatakan, bahwa Indonesia dengan luas perkebunan kelapa sawit 16.3 juta hektar seharusnya bisa memproduksi bahan bakar nabati sebanyak 80-90 juta ton. Hal ini dalam rangka memenuhi tingkat kebutuhan bahan bakar seiring dengan penggunaan kendaraan bermotor di Indonesia yang terus meningkat dengan jumlah 4 juta unit per tahunnya.

“Tahun 2020 kita targetan bisa masuk ke B30,” ujarnya. B30 sendiri merupakan bahan bakar diesel dengan kadar 30% dari bahan bakar nabati dan 70% sisanya yaitu bahan bakar minyak fosil jenis solar. Menurutnya, selain dari minyak sawit, tanaman lain yang berpotensi untuk bahan baku biodiesel antara lain minyak kedelai dan bunga matahari walaupun produktivitasnya hanya 1/10 dari kelapa sawit. Namun, ia sangat mendukung produk terutama bahan bakar yang berbasis sustainable energy.

Seiring dengan harapan Presiden Jokowi terkait penekanan impor bahan bakar, dirinya pun akan memasukkan pengembangan ini menjadi salah satu proyek strategis nasional untuk menargetkan investasi industri konglomerat kelapa sawit terhadap produk katalis untuk bahan bakar. Sebelumnya, Darmin memperkirakan biaya untuk mengembangkan B100 memerlukan dana hingga US$20 miliar. Melihat besarnya dana yang diperlukan, dia menilai Indonesia dapat fokus dalam menjalankan B30 pada awal tahun depan. "Dengan demikian lambat laun kita dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM sekaligus mengantarkan kelapa sawit berjaya sebagai komoditas unggul Indonesia di pasar global," jelasnya.

Upaya mandiri energi juga ditekankan oleh Prof. Subagjo melalui inovasi teknologi yang dapat memproduksi minyak sawit menjadi bensin nabati, diesel nabati, hingga bioavtur dengan proses perengkahan (cracking) dengan bantuan katalis. Pengembangan sejak 2010 yang dimulai dari uji lab kini sudah meningkat menjadi uji komersial dengan katalis PIDO 130-1,3T untuk produksi green diesel di Kilang Dumai pada Maret 2019. Serta rencana pada Februari 2020, yakni PIDO dan PIHI untuk produksi bioavtur di Kilang Pertamina RU IV Cilacap. Ia pun sangat berharap pada dukungan pemerintah mengenai regulasi dan dorongan investasi untuk pengembangan bahan bakar nabati agar bisa dikomersialisasi secara massal.

Prof. Subagjo berharap, lewat kunjungan para menteri kabinet Presiden Jokowi ke lab katalis ini, dapat mengerahkan seluruh potensi pengembangan biohidrokarbon, mempercepat produksi BBN dengan katalis dan teknologi Merah Putih, mempercepat pengembangan teknologi proses minyak nabati industri, dan memompa semangat peneliti Indonesia untuk berinovasi.

Hadir pula perwakilan dari Pertamina pada pertemuan tersebut. Dia meyakinkan bahwa Pertamina akan menjadi balancer produksi bahan bakar nabati, sehingga selisih CPO (minyal sawit) bisa menjadi subsidi. Sementara itu, Darmin berharap, ITB dapat mengembangkan katalis khusus secara komersial yang akan menjadi pendorong diproduksinya green fuel berbasis CPO, ia juga menekankan agar hasil pengembangan katalis di ITB dapat menjadi substitusi impor akan katalis, sehingga bisa menghemat devisa negara.

Reporter: Salsabila Mayang Febriana (Manajemen, 2020)