Menuju Visi Indonesia 2030
Oleh
Editor
Sabtu (26/5) bertempat di Gedung BPI ITB, Komisi Permasalahan Bangsa Majelis Guru Besar (MGB) ITB yang dikepalai oleh I Dewa Gede Raka menginisiasi Sidang Pleno Terbuka Majelis Guru Besar ITB. Sidang pleno ini dihadiri oleh Ketua Majelis Wali Amanat (MWA), Rektor ITB, Djoko Santoso, beserta 2 Rektor ITB sebelumnya yaitu Kusmayanto Kadiman dan Haryadi, Ketua Senat, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Guru Besar ITB, alumni, serta perwakilan mahasiswa dari Keluarga Mahasiswa (KM) ITB. Agenda utama Sidang Pleno ini adalah paparan Prof.Dr.(H.C) Ir. Hartarto Sastrosoenarto yang mengangkat topik "Menuju Visi Indonesia 2030". Topik ini diambil dari bukunya yang berjudul "Industrialisasi serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju Visi Indonesia 2030".
"Kita harus optimis akan kemampuan bangsa kita sendiri. Sebelumnya, kita telah berhasil mencapai visi bangsa kita yang pertama, kemerdekaan. Dalam laporan private banking terbesar di dunia, UBS, dalam buku tahunan 2007 memprediksikan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi 10 besar dunia dalam tahun 2025 dengan syarat apabila perkembangan budaya, politik, dan ekonomi mendukungnya", kata Hartarto mengawali paparannya.
Hartarto yang juga alumni Teknik Kimia ITB Angkatan 1952, menyatakan bahwa perumusan visi bangsa harus dilakukan secara luas dan menjadi komitmen menyeluruh bangsa, sehingga siapapun Presiden/Gubernur/Bupati yang terpilih akan bekerja keras untuk mencapai visi bangsa tersebut. Visi yang dirumuskan pun harus realistis dan down to earth.
Hartarto yang dulu sempat menjabat sebagai Menperindag dan berbagai jabatan Menko lainnya di kabinet selama 16 tahun, sejak 1983 s.d. 1999, meringkas Visi Indonesia pada tahun 2030 sebagai berikut:
1. Demokrasi dan otonomi daerah telah mantap/dewasa perkembangannya.
2. Prudent macro economic management dengan balance budget dan inflasi yang rendah
3. Neraca perdagangan yang positif, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6% pertahun syukur lebih tinggi, didukung investasi
4. Angka pertumbuhan penduduk 0,9%, dengan jumlah 300 juta orang
5. Pendapatan perkapita menjadi US $ 6000 - US $ 7000 jumlah penduduk miskin yang rendah
6. Ratio pendapatan pajak terhadap PDB 30%, hutang amat kecil, memiliki kemandirian bangsa dalam administrasi negara, pelaksanaan pembangunan dan pertahanan/keamanan
7. Industri, pertanian dan jasa tumbuh pesat, dan mampu:
- Mencapai swasembada pangan secara lestari
- Menjadi bangsa niaga yang maju
- Jasa yang luas
8. Memiliki pertahanan keamanan yang kuat, disegani di forum internasional.
"Harus diakui bahwa kita telah memiliki fundamental yang kokoh, yaitu demokrasi dan otonomi daerah, yang tentu saja kita sadar bahwa pemantapannya memerlukan waktu. Dan bila kita melihat potensi diri bangsa, maka sesungguhnya terdapat 3 kekuatan penggerak. Yang pertama, sumber daya manusia. Kekuatan penggerak kedua adalah penguasaan dan pengembangan iptek. Kekuatan penggerak ketiga adalah peranan dan dukungan pemerintah pusat dan daerah, yaitu moneter, fiskal, dan administrasi negara", tutur Hartarto saat memasuki bagian kedua paparannya tentang bagaimana untuk mencapai visi 2030."Dalam konteks dinamika ekonomi global setidaknya ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan, diantaranya ketidakseimbangan neraca perdagangan antara negara maju dan negara berkembang yang akan mendorong meningkatnya proteksionisme negara-negara maju. Masalah berikutnya adalah perkiraan harga BBM yang lebih tinggi dari harga sekarang sehingga sebisa mungkin kita harus menghentikan ekspor sumber daya mineral tersebut. Lemahnya investasi merupakan hal lain yang harus dikhawatirkan dalam konteks global", tambah Hartarto.
Dengan melihat keterbatasan terhadap kemampuan keuangan negara, Hartarto menyarankan beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, menciptakan iklim usaha yang benar-benar kondusif. Kedua, membenahi peranan aparatur pajak. Ketiga, menyisihkan sebagian dana APBN untuk dialokasikan bagi pengembangan bank pemerintah dengan fokus pada pembangunan industri (mesin, perkapalan) dan pertanian (perkebunan, kelautan) dengan bunga rendah. Keempat, pengembangan sektor pertanian dalam arti luas termasuk pula kehutanan dan kelautan. Kelima, mengembangkan dan melaksanakan strategi dan visi industrialisasi. Selanjutnya kekuatan ekonomi ketiga yang perlu dikembangkan secara terpadu adalah sektor jasa.
Kemudian dalam penutupnya, Hartarto berpesan,"Dengan konsisten melaksanakan langkah-langkah tersebut dengan semboyan the impossible is possible, Insya Allah Indonesia akan menjadi bangsa yang maju tidak lama setelah visi 2030 tercapai."
Acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin oleh I Dewa Gede Raka selaku moderator. Imam Taufik yang juga hadir pada diskusi ini menanggapi bahwa peran ICT sangat penting dalam menentukan daya saing bangsa sehingga beliau menyarankan kepada PII agar dibentuk suatu badan jurusan baru yang concern menangani hal ini. Sementara, Djoko Santoso selaku Rektor ITB memberi komentar mengenai peran ITB yng dianggap mampu mengawali langkah dalam rangka pencapaian visi 2030. Kemudian tanggapan terakhir berasal dari perwakilan mahasiswa yang bertanya tentang langkah konkrit yang dapat diambil mahasiswa untuk menginisiasi upaya pencapaian visi 2030.
"Kita harus optimis akan kemampuan bangsa kita sendiri. Sebelumnya, kita telah berhasil mencapai visi bangsa kita yang pertama, kemerdekaan. Dalam laporan private banking terbesar di dunia, UBS, dalam buku tahunan 2007 memprediksikan bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi 10 besar dunia dalam tahun 2025 dengan syarat apabila perkembangan budaya, politik, dan ekonomi mendukungnya", kata Hartarto mengawali paparannya.
Hartarto yang juga alumni Teknik Kimia ITB Angkatan 1952, menyatakan bahwa perumusan visi bangsa harus dilakukan secara luas dan menjadi komitmen menyeluruh bangsa, sehingga siapapun Presiden/Gubernur/Bupati yang terpilih akan bekerja keras untuk mencapai visi bangsa tersebut. Visi yang dirumuskan pun harus realistis dan down to earth.
Hartarto yang dulu sempat menjabat sebagai Menperindag dan berbagai jabatan Menko lainnya di kabinet selama 16 tahun, sejak 1983 s.d. 1999, meringkas Visi Indonesia pada tahun 2030 sebagai berikut:
1. Demokrasi dan otonomi daerah telah mantap/dewasa perkembangannya.
2. Prudent macro economic management dengan balance budget dan inflasi yang rendah
3. Neraca perdagangan yang positif, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6% pertahun syukur lebih tinggi, didukung investasi
4. Angka pertumbuhan penduduk 0,9%, dengan jumlah 300 juta orang
5. Pendapatan perkapita menjadi US $ 6000 - US $ 7000 jumlah penduduk miskin yang rendah
6. Ratio pendapatan pajak terhadap PDB 30%, hutang amat kecil, memiliki kemandirian bangsa dalam administrasi negara, pelaksanaan pembangunan dan pertahanan/keamanan
7. Industri, pertanian dan jasa tumbuh pesat, dan mampu:
- Mencapai swasembada pangan secara lestari
- Menjadi bangsa niaga yang maju
- Jasa yang luas
8. Memiliki pertahanan keamanan yang kuat, disegani di forum internasional.
"Harus diakui bahwa kita telah memiliki fundamental yang kokoh, yaitu demokrasi dan otonomi daerah, yang tentu saja kita sadar bahwa pemantapannya memerlukan waktu. Dan bila kita melihat potensi diri bangsa, maka sesungguhnya terdapat 3 kekuatan penggerak. Yang pertama, sumber daya manusia. Kekuatan penggerak kedua adalah penguasaan dan pengembangan iptek. Kekuatan penggerak ketiga adalah peranan dan dukungan pemerintah pusat dan daerah, yaitu moneter, fiskal, dan administrasi negara", tutur Hartarto saat memasuki bagian kedua paparannya tentang bagaimana untuk mencapai visi 2030."Dalam konteks dinamika ekonomi global setidaknya ada beberapa hal yang perlu dikhawatirkan, diantaranya ketidakseimbangan neraca perdagangan antara negara maju dan negara berkembang yang akan mendorong meningkatnya proteksionisme negara-negara maju. Masalah berikutnya adalah perkiraan harga BBM yang lebih tinggi dari harga sekarang sehingga sebisa mungkin kita harus menghentikan ekspor sumber daya mineral tersebut. Lemahnya investasi merupakan hal lain yang harus dikhawatirkan dalam konteks global", tambah Hartarto.
Dengan melihat keterbatasan terhadap kemampuan keuangan negara, Hartarto menyarankan beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, menciptakan iklim usaha yang benar-benar kondusif. Kedua, membenahi peranan aparatur pajak. Ketiga, menyisihkan sebagian dana APBN untuk dialokasikan bagi pengembangan bank pemerintah dengan fokus pada pembangunan industri (mesin, perkapalan) dan pertanian (perkebunan, kelautan) dengan bunga rendah. Keempat, pengembangan sektor pertanian dalam arti luas termasuk pula kehutanan dan kelautan. Kelima, mengembangkan dan melaksanakan strategi dan visi industrialisasi. Selanjutnya kekuatan ekonomi ketiga yang perlu dikembangkan secara terpadu adalah sektor jasa.
Kemudian dalam penutupnya, Hartarto berpesan,"Dengan konsisten melaksanakan langkah-langkah tersebut dengan semboyan the impossible is possible, Insya Allah Indonesia akan menjadi bangsa yang maju tidak lama setelah visi 2030 tercapai."
Acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipimpin oleh I Dewa Gede Raka selaku moderator. Imam Taufik yang juga hadir pada diskusi ini menanggapi bahwa peran ICT sangat penting dalam menentukan daya saing bangsa sehingga beliau menyarankan kepada PII agar dibentuk suatu badan jurusan baru yang concern menangani hal ini. Sementara, Djoko Santoso selaku Rektor ITB memberi komentar mengenai peran ITB yng dianggap mampu mengawali langkah dalam rangka pencapaian visi 2030. Kemudian tanggapan terakhir berasal dari perwakilan mahasiswa yang bertanya tentang langkah konkrit yang dapat diambil mahasiswa untuk menginisiasi upaya pencapaian visi 2030.