Menyelisik Aktivitas Gelombang Otak pada Proses Coaching Korban Tanah Longsor
Oleh Asep Kurnia, S. Kom
Editor Diky Purnama, S.Si.,M.Ds.
Sumber gambar : freepik.com
BANDUNG, itb.ac.id—Bencana tanah longsor di Desa Cihanjuang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat pada 9 Januari 2021 silam meninggalkan dampak nyata bagi para korban. Tidak hanya kehilangan jiwa dan harta, penyintas juga kerap kali mengalami kerugian non material dalam bentuk gangguan psikologi seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Gangguan tersebut dapat menimbulkan gejala, misalnya rasa cemas berlebihan yang muncul berulang kali, sulit tidur, bahkan ada pula yang mengalami depresi.
Kelompok Keahlian Fisiologi, Perkembangan Hewan, dan Sains Biomedika dari Program Studi Biologi SITH ITB mengadakan pengabdian masyarakat dalam kegiatan coaching. Para coach profesional dari PT KAI dan PT Telkom turut membersamai tim untuk mendukung proses trauma healing korban tanah longsor Desa Cihanjuang. Metode coaching yang digunakan melibatkan interaksi antara coach dan 28 korban sebagai responden dalam durasi masing-masing 40 hingga 45 menit. Mereka diminta untuk merefleksikan diri melalui jawaban dan harapannya, proses tersebut dapat meringankan beban emosional serta membantu mereka untuk menyadari kemampuan diri sendiri agar dapat bangkit dan mengambil pembelajaran dari pengalaman traumatik ini.
Sejalan dengan proses coaching, penelitian yang melibatkan pengambilan gelombang otak juga diterapkan. Aktivitas ini telah terlebih dahulu disetujui oleh para responden dan dilakukan menggunakan perangkat elektroensefalografi (EEG) Muse™. Tampilan visual gelombang otak yang terdeteksi dapat dilihat secara langsung melalui aplikasi Mind Monitor di smartphone untuk dibandingkan rekamannya sebelum dan sesudah sesi coaching. Secara khusus, perangkat EEG Muse™ dapat memberikan resolusi temporal yang tinggi dengan biaya yang efisien dan desain yang praktis untuk dibawa ke mana-mana.
“Berdasarkan keterkaitannya dengan kondisi sadar dan juga pengalaman traumatik, jenis gelombang otak yang difokuskan pada kegiatan ini adalah gelombang alfa dan beta,” tutur Dr. Lulu Lusiana Fitri, M.Sc., dosen Program Studi Biologi dan anggota tim peneliti yang turut terlibat dalam pengabdian masyarakat ini.
Berdasarkan hasil analisis data, gelombang otak alfa menunjukkan perubahan aktivitas yang nyata pasca sesi coaching. Penurunan aktivitas gelombang alfa di kedua area anterofontal, baik di kiri dan kanan (AF7 dan AF8), teramati pada hampir seluruh responden. Fakta ini mengisyaratkan adanya defisit pada aktivitas otak yang terlibat dalam fungsi-fungsi eksekutif, seperti fungsi kontrol gerakan motorik dan atensi. Defisit atensi sendiri merupakan ciri khas individu yang terdampak PTSD sehingga pengamatan ini diduga terjadi sebagai bentuk penghindaran para responden terhadap traumanya.
Meskipun demikian, apabila dikaitkan dengan fungsi area AF, aktivitas gelombang alfa berasosiasi dengan perhatian penuh dan kewaspadaan saat coaching berlangsung sehingga mampu mempengaruhi sikap rileks responden. Sebaliknya, pada kedua area temporoparietal (TP9 dan TP10), aktivitas gelombang tersebut justru meningkat secara signifikan. Dr. Lulu berpendapat bahwa hal ini memperlihatkan sisi emosional para naracoba yang cenderung kuat. Peningkatan aktivitas berkontribusi terhadap tiga kemungkinan, yaitu kondisi yang semakin rileks, munculnya lonjakan emosional, dan adanya proses ingatan yang muncul kembali terkait momen bencana yang berusaha diingat.
“Berbeda dengan gelombang alfa, tampilan gelombang beta menunjukkan nilai yang tinggi saat sesi awal coaching dan berangsur menurun,” lanjutnya. Aktivitas gelombang beta berhubungan dengan konsentrasi penuh sehingga dapat diduga, semakin tinggi aktivitas gelombangnya, maka individu tersebut sangat mungkin sedang mengalami kecemasan yang tinggi. Penurunan yang ditemukan di area AF mengindikasikan proses berpikir yang intensif meskipun responden bisa saja tengah berada dalam konsentrasi yang berkurang. Sementara itu, penurunan gelombang beta di area TP berkaitan dengan pelepasan emosional setelah melalui sesi coaching. Kondisi ini berkaitan dengan proses trauma healing yang dialami oleh naracoba dengan coach. Maka, sesi-sesi lanjutan sebaiknya terus dilakukan sehingga dapat dicapai hasil yang optimal demi meningkatkan rasa percaya diri mereka untuk melakukan aktivitas harian secara normal.
*Artikel ini telah dipublikasi di Media Indonesia rubrik Rekacipta ITB, tulisan selengkapnya dapat dibaca di laman https://pengabdian.lppm.itb.ac.id
Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)