Mikroplastik: Plastik Tak Kasat Mata dengan Bahaya yang Mengancam Nyata
Oleh Adi Permana
Editor Vera Citra Utami
BANDUNG, itb.ac.id-Plastik merupakan polimer yang akrab ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, sebagian besar akan menjadi sampah dan berakhir di laut. “Rasio jumlah plastik terhadap ikan di laut pada 2025 adalah 1:3. Akan tetapi, pada 2050 diperkirakan jumlah sampah akan lebih banyak dibandingkan jumlah ikan di laut. Hal ini dapat diperparah dengan tindakan overfishing,” ungkap peneliti dari Pusat Riset Geoteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Dr.rer.nat. Dwi Amanda Utami.
Dia mengatakan, keberadaan sampah plastik di laut ini dapat membunuh berbagai biota, merusak ekosistem, bahkan membahayakan kegiatan navigasi perkapalan apabila sampah-sampah tersebut tersangkut di baling-baling.
“Sementara mikroplastik merupakan partikel plastik atau fiber dengan ukuran < 5 mm. Tipe mikroplastik ini ada 2, yakni primer dan sekunder. Mikroplastik primer diproduksi dalam ukuran yang sangat kecil, contohnya Polyethylene microbeads yang banyak terdapat pada produk kecantikan. Sedangkan mikroplastik sekunder berasal dari degradasi plastik sekali pakai yang berukuran lebih besar,” jelas Amanda dalam kuliah tamu Program Studi Oseanografi yang merupakan bagian dari Program NUSANTARA “Mengenal Sampah Laut Mikroplastik”, Jumat (26/11/2021).
Selain itu, ada juga serat mikroplastik yang merupakan serat sintetis seperti polyester atau nylon dan umum digunakan sebagai pakaian, furnitur, senar pancing, dan jaring ikan. “Faktanya, ketika kita mencuci 6 kg baju dari serat sintetis, secara tidak langsung kita telah membuang sekitar 700.000 serat mikroplastik ke saluran air dan akan berakhir di laut,” paparnya.
Karena ukurannya yang sangat kecil, mikroplastik dapat ditemui di mana saja. Dari perairan tropis hingga Arktik, dari pantai yang akrab dengan aktivitas antropogenik sampai laut dalam yang tidak terjamah manusia. Di Indonesia, mikroplastik dapat ditemukan di perairan laut, sedimen sungai, estuari, sedimen di lingkungan terumbu karang, bahkan dalam perut ikan. Jumlah sampel ikan di Indonesia yang mengandung mikroplastik bahkan 5 kali lebih banyak dibandingkan di Amerika. Fiber dan fragmen adalah jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan. Keduanya berasal dari pakaian dengan serat sintetis, alat pancing, dan jaring ikan.
Keberadaan mikroplastik di dalam perut ikan dan sumber air tawar dapat menjadi jalan masuk ke tubuh manusia. Mikroplastik mengandung berbagai zat aditif yang berbahaya bagi kesehatan. “Plastik dapat menyerap bahan kimia berbahaya yang terlarut dalam air dan semakin kecil ukuran partikel plastik, ia akan semakin efisien dalam mengakumulasi toksin,” kata Amanda.
Ia menambahkan, bahwa polusi udara juga mengandung mikroplastik berukuran 10 – 25 ?m yang dapat terakumulasi di saluran pernafasan dan paru-paru sehingga akan mengganggu sistem pernapasan.
Potensi bahaya mikroplastik lainnya pada kesehatan manusia adalah memicu pertumbuhan tumor, penghambat sistem imun, dan mengganggu sistem reproduksi. Saat ini, keberadaan mikroplastik belum berada di tingkat yang mengancam. Namun, seiring berjalannya waktu jumlahnya akan meningkat dan bahanya akan semakin nyata.
Jika tertelan oleh mamalia laut karena menyerupai mangsa alaminya, mikroplastik dapat mengakibatkan rusaknya organ pencernaan karena sulit atau tidak bisa dicerna, mengurangi cadangan energi pada tubuh, dapat mengganggu sistem reproduksi, dan yang paling fatal dapat menyebabkan kematian.
Amanda juga menerangkan tentang nanoplastik. Plastik yang memiliki ukuran sangat kecil, 1 nm – 1 ?m, seukuran dengan DNA dan virus. Karena ukurannya yang lebih kecil dari mikroplastik, ia sangat sulit diamati dan dapat dengan mudah masuk ke jaringan tubuh.
Sampah plastik tidak hanya mengancam kesehatan manusia, tetapi juga memengaruhi perubahan iklim dunia. United Nations kini menyatakan deklarasi perang terhadap sampah plastik. Berbagai negara, termasuk Indonesia juga mulai melakukan komitmen yang sama. “Langkah sederhana yang dapat kita lakukan adalah mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai dan melakukan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle),” pesan Amanda.
Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)