Kuliah Manajemen Sumber Daya Biologi: Belajar dari Pengelolaan TN Gunung Ciremai

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Sumber: Wikimedia Commons

BANDUNG, itb.ac.id—Sejarah konservasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1912 oleh sekumpulan orang Belanda yang membentuk Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia Belanda, diketuai oleh Dr. Sijfert Hendrik Koorders. Dari Dr. Koorders-lah pengusulan perlindungan kawasan-kawasan dan jenis-jenis flora dan fauna tertentu ke pemerintah Belanda dilakukan.

Kawasan konservasi di Indonesia saat ini mencapai 27,14 juta hektar dengan 554 unit taman nasional pemegang luas terbesar (16,22 juta hektar). Topik tentang pengelolaan Kawasan konservasi tersebut diulas dalam webinar Magister Biomanajemen SITH ITB, (15/9). Acara dibuka oleh Dr. Sofiatin, S.Hut., M.Si., selaku ketua program studi magister biomanajemen dan Prof. Dr. Tati S. Syamsuddin selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen Sumber Daya Biologis.

Narasumber pada kuliah umum ini adalah Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai Teguh Setiawan, S.Hut., MNatResSt, M.M. Ia mengatakan bahwa, Gunung Ciremai adalah gunung soliter yang memiliki luas 14841,3 HA yang beririsan antara Kabupaten Majalengka dengan Kabupaten Kuningan dengan total 54 desa penyangga di dalam kawasan tersebut.

Hubungan timbal-balik yang sangat erat antara TN dengan daerah penyangganya sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekologi. “Masyarakat harus senang dengan taman nasional, jangan bermusuhan dengan masyarakat,” ujarnya.

Prinsip konservasi sesuai undang-undang nomor 5 tahun 1990 adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan tiga pilar pengelolaan TN adalah ekologi, sosial budaya, ekonomi. Keduanya harus saling disandingkan, sehingga dapat terwujud proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Karena pengelolaan kawasan konservasi TNGC dilakukan dengan pendekatan wisata alam, maka untuk keberlanjutan yang lebih baik, masyarakat desa penyangga setempat turut serta dalam membangun kawasan mereka baik secara ekonomi maupun ekologi.

Implementasi kolaborasi pengelolaan TNGC dibagi kepada enam aspek: perlindungan kawasan, penanganan kebakaran hutan, pengelolaan jasa lingkungan WA, pengelolaan sampah ODTWA, pemulihan ekosistem, dan pengelolaan keanekaregaman hayati.

“Semua dilakukan dengan pendekatan wisata alam dan kontribusi masyarakat yang besar,” ujarnya.
Baik pengelolaan sampah, sektor pertanian, pengelolaan ODTWA, hingga penugasan setiap warga yang terspesialisasi dilakukan untuk terus meningkatkan kualitas kawasan konservasi sekaligus mata pencaharian mereka.

Terdapat pembagian zonasi pada kawasan TNGC, seperti zona inti, rimba, pemanfaatan, dan rehabilitasi. Terdapat kenaikan angka pada semua zona sejak 2012, kecuali rehabilitasi yang menurun. Hal ini menandakan proses rehabilitasi di kawasan gunung ciremai dikatakan berhasil.

Pengelolaan TNGC dengan masyarakat sekitar juga berdampak pada kesejahteraan yang didapat untuk mereka, baik dari segi wisata alam, penelitian, pendidikan, hingga produk yang dihasilkan.

Reporter: Najma Shafiya (Teknologi Pascapanen, 2020)