Misteri Letusan Gunung Krakatau dan Aktivitas Anak Krakatau yang Terus Meningkat

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Foto Dr. Mirzam sedang menjelaskan pembentukan kaldera di Krakatau (dok. pribadi)


BANDUNG, itb.ac.id -- Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung terus menunjukkan aktivitasnya. Berdasarkan catatan Volkanolog ITB, Dr.Eng. Mirzam Abdurrachman, ST., MT., saat melakukan pengamatan bertepatan dengan pelaksanaan Festival Lampung Krakatau ke-28 tahun 2018, gunung tersebut tercatat mengeluarkan letusan-letusan kecil yang dicirikan oleh erupsi vertikal setinggi 200-300 m dari puncaknya.


Menurut dosen di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB itu, ada yang menarik dari setiap letusannya, yakni warna abu vulkanik yang dikeluarkan berubah dari abu gelap ke abu terang hingga akhirnya menjadi putih. Perubahan warna ini secara volkanologi disebut letusan ultravulcanian yang terjadi karena air yang mengalami super heated berubah menjadi uap warna gelap dan secepatnya setelah kontak dengan udara akan mengalami kondensasi dan berubah menjadi warna putih.

"Sebuah indikasi yang baik bahwa material letusan-letusan kecil yang terjadi hanya disebabkan oleh air yang terpanaskan tanpa melibat magma. Jika pun letusan terjadi,  Anak Krakatau kemungkinan besar hanya berupa letusan kecil yang mungkin akan diikuti lelehan aliran lava," ucapnya sebagaimana keterangan yang diterima Humas ITB.

Sesuai namanya, Gunung Anak Krakatau merupakan anak dari Gunung Krakatau yang pernah meletus dahsyat. Pada 27 Agustus 2018 adalah peringatan 135 tahun letusan Krakatau. Beberapa catatan diantaranya dalam buku Para Raja yang ditulis oleh Raden Ngabahi Ranggawarsita tahun 1869, menyebutkan bahwa pada tahun Saka 338 atau 416 telah terdengar suara gemuruh disertai hujan dan badai. Krakatau Purba menghilang menyisakan pulau-pulai kecil dan secepatnya disusul oleh gelombang laut yang tinggi, tsunami menghantam pesisir Lampung dan Jawa Barat.

"Pulau Sertung,  Panjang dan Rakata terbentuk dari hasil letusan dahsyat Karakatau Purba yang terjadi sekitar awal abad 5 atau 6," kata Dr. Mirzam.

Namun, penelitian selanjutnya tidak mencatat adanya bukti-bukti geologi yang cukup akan adanya letusan besar tahun 416. Sebaliknya sekitaran tahun 535-536 terjadi perubahan iklim yang ekstrim. Beberapa tumbuhan mengalami pertumbuhan yang lambat, ditemukannya kandungan sulfur yang tinggi pada bagian inti dari es di Islandia atau antartika, musim panas yang bersalju pada Bumi belahan utara sehingga masa itu dikenang sebagai Volcanic Winter,  serta adanya beberapa peradaban yang berakhir disekitar waktu tersebut.

"Jadi apakah 416 atau 535? Sekarang banyak peneliti sedang mendalami dan mencari bukti guna mendapatkan jawaban yang lebih akurat. Kapan pun itu, kita patut besyuskur karena letusan 416 atau 535 jauh lebih dasyat dari letusan 135 tahun yang lalu atau tepatnya 26-27 Agustus 1883," ungkapnya.

Perbandingan Letusan 1883 dengan 416/535

Menurut Dr. Mirzam, letusan Gunung Krakatau pada Agustus 1883 dimulai pada tanggal 26 Agustus dan mencapai puncaknya serta berhenti 20 jam kemudian pada 27 Agustus. Menelan korban jiwa hingga lebih dari 36.400 orang, menghasilkan kaldera berukuran 4x8 km yang menyebabkan tsunami dengan ketinggian lebih 15 m dan aliran wedus gembel sejauh 40 km dari titik letusan. 

Sementara itu untuk letusan 416/535 tidak ada catatan sedetil letusan 1883, namun letusan ini dilaporkan berlangsung selama 20 hari tanpa henti dan menyisakan mega kaldera berukuran 50x50 km di Selat Sunda. Kaldera ini hanya dikalahkan oleh ukuran Kaldera Toba yang mencapai ~75 km.

"Kini, Krakatau Purba, sudah kehilangan tubuh utamanya, sementara Sang Anak Krakatau baru menyusun tubuhnya, dengan letusan-letusan yang sejak 2008 memperlihatkan waktu erupsi yang konsisten yaitu sekitar dua tahunan, yaitu 2008, 2010, 2012, 2014 dan sejak februari 2017 hingga sekarang memperlihatkan peningkatan aktifitas," pungkasnya.

Tulisan kiriman dari Dr.Eng. Mirzam Abdurrachman, ST., MT.