Museum Layak Jadi Wahana Pendidikan diluar Rutinitas Belajar Mengajar

Oleh kristiono

Editor kristiono

BANDUNG, itb.ac.id - Museum selayaknya menjadi wahana pendidikan diluar rutinitas belajar mengajar, demikian disampaikan akademisi Perancis Dr. Philippe Grange dalam Semiloka “Pengembangan Potensi Museum Indonesia”, Sabtu (12/4) di Auditorium CC Sayap Timur. Seminar hasil kerjasama FSRD ITB dengan Japan Foundation ini menghadirkan Dr. Philippe untuk berbagi pengetahuan tentang mediasi museum. Menggunakan bahasa Indonesia yang fasih, Dr Philippe mengawali paparannya dengan menjelaskan pola edukasi bimbingan murid dan guru di museum. Menurut Philippe, salah satu persoalan yang dihadapi pengelolaan museum adalah rendahnya minat kunjungan warga. Parahnya, sebagian pengunjung merupakan ‘paksawan’, termasuk dalam kelompok ini adalah murid-murid sekolah yang mengikuti program study tour. Oleh sebab itu, Philippe menekankan perlunya strategi mediasi yang disesuaikan dengan karakteristik pengunjung. salah satu metodenya adalah pengelompokkan berdasar umur. Misalnya, untuk pengunjung berumur 45 tahun atau lebih lebih cocok diberikan bentuk mediasi tulisan. Kelompok umur 25-40 tahun, mengandalkan mediasi tulisan dan audio visual. Sedangkan, untuk pengunjung berumur kurang dari 25 tahun, disebut juga generasi ‘mesin pencari’, sangat tidak cocok dengan media tulisan. Adapun tujuan mediasi adalah sebagai penghargaan budaya lokal, membangun kepekaan terhadap benda pusaka dan budaya, serta sumber inspirasi bagi seniman. Sementara itu, Desainer Interior Ahadiat Joedawinata membawakan makalah mengenai fenomena pameran dalam museum. Menurut Ahadiat, tujuan seseorang mengunjungi museum adalah guna mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang menghasilkan makna-makna dengan melalui berbagai proses pengamatan dalam melihat dan menyaksikan pameran dari benda-benda koleksi museum beserta penjelasan-penjelasannya. “Bilamana tujuan dari pengunjung tersebut tidak terpenuhi, maka museum dapat dikategorikan tidak memenuhi fungsinya sebagai fasilitas publik”, kata Ahadiat. Ahadiat menambahkan, terdapat perbedaan esensial antara pameran dalam suatu museum dengan pameran-pameran lain. Perbedaan ini muncul karena setiap pameran memiliki sasaran informasi dan komunikasi, isi dan misi informasi yang spesifik dan berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini pada gilirannya akan menyebabkan perbedaan media yang tepat dan efektif untuk digunakan dalam penyampaiannya. Selain Pengajar Universitas La Rochelle, Dr. Philippe Grange dan Desainer Interior Dr. Ahadiat Joedawinata, semiloka sehari yang disponsori PT LAPI ini juga menghadirkan pembicara Prof. Setiawan Sabana, Kurator Mito Art Museum Tokyo Mazuki Takahashi, dan Budayawan Endo Suanda.