Orasi Ilmiah Guru Besar Prof. Harun Al Rasyid Lubis: Kemacetan dari Sudut Pandang Engineering
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Prof. Ir. Harun Al Rasyid Lubis, M.Sc., Ph.D., menyampaikan orasi ilmiah pada Sabtu (6/8/2022). Prof. Harun memaparkan penelitiannya mengenai kemacetan dari sisi engineering dengan judul “Apakah Kemacetan Kota Bisa Diatasi? Transfer Pengetahuan dan Kegagalan Kebijakan”.
Dijelaskan Prof. Harun, saat ini lebih dari 50 persen penduduk dunia bermukim di daerah perkotaan. Angka ini terus meningkat yang dapat diperkirakan menyentuh angka 70-75 persen di tahun 2045. Sehingga jumlah penduduk akan meningkat 1,5 kali lipat menjadi 6,5 milyar penduduk perkotaan di tahun 2045.
Tingginya jumlah kepadatan di kota seiring dengan meningkatkan kebutuhan barang dan jasa. Sehingga membutuhkan sejumlah pelayanan angkutan yang memadai dan reliable. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kemacetan yang tidak kunjung reda.
Kemacetan dari perspektif engineering dibedakan menjadi dua kategori yakni kemacetan berulang (reccurent) dan kemacetan incidental (nonrecurrent). Beragam upaya telah dilakukan untuk mengatasi kemacetan di kota. Prof. Harun menyampaikan bahwa tugas insiyur adalah mengatur pola kemacetan yang ada di kota dengan keberagaman alat kendali, seperti pemasangan alat detector di bawah aspal.
Kemacetan adalah akibat dari ketidaktertiban lalu lintas. Terdapat tiga hal penting dalam tata tertib lalu lintas di mana ketiganya harus terpenuhi di antaranya, Education, Engineering, dan Enforcement. Di antara ketiga hal ini, Enforcement atau pelaksanaan yang masih kurang bahkan tidak terpenuhi sehingga munculah kemacetan.
Prof. Harun mengutip kalimat dari Lewis Mumford (1895-1990) yang menyatakan bahwa “Adding highway lanes to deal with traffic congestion is like loosening your belt to cure obesity.”
Penambahan jalan untuk mengatasi kemacetan bukanlah langkah yang tepat atau ibarat kita melonggarkan sabuk. Hal ini bukan mengurangi kemacetan malah semakin menambah traffic yang semakin merayap.
Selain itu, ketergantungan terhadap kendaraan pribadi juga menjadi penyebab dari kemacetan terlebih di Indonesia. Di negara-negara Eropa kepemilikan kendaraan pribadi semakin tahun semakin menurun karena adanya sharing economy, tetapi lain halnya di Indonesia yang jumlah kendaraan motor lebih banyak dibandingkan jumlah penduduknya. Sehingga, perlu strategi untuk mengelola tata ruang seperti membangun pemukiman dekat dengan kawasan industri sehingga dapat memudahkan mobilitas masyarakat.
Prof. Harun menyampaikan lima arahan strategis dan kebijakan transportasi berkelanjutan. Pertama, promosi angkutan umum perkotaan di mana sebagai langkah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi masyarakat. Kedua, strategi tata ruang guna menciptakan ruang mobilisasi yang nyaman bagi masyarakat. Ketiga, urgensi logistik perkotaan yang harus dipersiapkan secara matang. Keempat, rencana strategis yang dibuat harus dikaitkan dengan kemampuan pendanaan yang eksplisit dan terukur. Kelima, tata kelola harus dibenahi agar lebih terintegrasi dan transparan.
“Permasalahan transportasi dan kemacetan kota dapat diselesaikan apabila masyarakat mengubah kebiasaannya dan beralih ke angkutan umum. Akan tetapi, hanya mau pindah ke angkutan umum bila layanannya nyaman, mudah, dan ongkos murah,” ujar Prof. Harun di Aula Barat ITB.
Terdapat tiga resource yang harus memadai untuk menjawab keresahan masyarakat terkait transportasi meliputi fiskal, inovasi, dan investor. Riset lanjutan mengenai kendaraan pintar yang autonomous dan bisa membaca situasi sangat diharapkan oleh para insinyur dan masyarakat. Sehingga diperlukan mobility plan yang baik dan taktis.
Bidang transportasi tidak menutup kemungkinan untuk bersanding dengan teknologi digital di masa depan. Akan tetapi rencana strategis tersebut harus dikaitkan dengan kemampuan pendanaan yang eksplisit dan terukur, sehingga keterbatasan fiskal bisa teratasi. Untuk bisa menjalakannya, diperlukan pilar transportasi yang berkelanjutan seperti, otoritas yang jelas, masterplan yang terintegrasi, dan sumber daya yang cukup baik dari swasta maupun dari pabrik.
Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)