Prof. Dr. Djoko T. Iskandar Sosok Herpetologis Dunia, Buktikan Biodiversitas Reptil Negeri

Oleh Ahmad Fadil

Editor Ahmad Fadil

BANDUNG, itb.ac.id – Biodiversitas atau lebih dikenal dengan keanekaragaman hayati menurut Convention on Biological Diversity (1993) merupakan keanekaragaman sumber daya hayati baik flora maupun fauna yang meliputi keragaman jenis, genetik, dan ekosistem. Diapit oleh 2 benua (Asia dan Australia), 2 samudera (Hindia dan Pasifik), dan 2 sirkum (Mediterania dan Pasifik) menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara Mega Biodiversity dengan lebih dari 10% spesies dunia hidup.  

Indonesia memiliki 25000 spesies tumbuhan berbunga, 1592 spesies burung, 515 spesies mamalia, 35 spesies primata, 781 jenis reptil, dan 270 spesies amfibi. Namun, tidak banyak peneliti dalam negeri yang tertarik untuk menggelutinya, selain dikarenakan faktor biaya, faktor lain yang menjadi kendala adalah faktor birokrasi. Semua kendala tersebut tak lantas membuat Prof. Djoko berhenti untuk mengungkap biodiversitas negeri, khususnya di bidang herpetologi. Herpetologi merupakan cabang ilmu zoologi yang mempelajari reptil dan amfibi.

Kegigihan yang Membuahkan Hasil
Selain meneliti katak yang membuat namanya mendunia, dosen kelahiran Bandung, 23 Agustus 1950 ini, juga menggeluti penelitian hewan reptil lainnya seperti cicak dan ular. Namun ia mengaku lebih tertarik dalam mempelajari katak dikarenakan sebaran spesiesnya yang beragam, sebagai contoh untuk 1500 ekor ular setelah diteliti hanya ditemukan 5 spesies yang berbeda, sedangkan untuk katak dapat ditemukan hingga 40 spesies berbeda.

Ketertarikan Prof. Djoko dengan katak berawal dari kembalinya ke tanah air setelah menyelesaikan studi magister dan doktoral di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, France dalam kondisi kekurangan. “Saya tidak mampu membeli peralatan untuk meneliti tikus karena harga perangkap yang mahal, sedangkan untuk mengobservasi katak saya hanya perlu tangan dan senter,” akuinya.

Di masa awal proses penelitian sekitar tahun 1976, Prof. Djoko mengalami kesulitan dikarenakan bekal ilmu dalam mempelajari katak sangatlah minim sehingga membuat dirinya mencari berbagai literatur tentang katak. Mirisnya, sejak setelah kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1976, hanya ada 5 jurnal ilmiah dalam negeri yang membahas tentang eksistensi spesies katak. Hal inilah yang membangkitkan semangatnya untuk meneliti katak dan mempublikasikan jurnal ilmiah sebanyak-banyaknya untuk menunjukkan kepada dunia tentang biodiversitas katak di Indonesia.

Pada tahun 1977, Prof Djoko melakukan ekspedisi ke Kalimantan Tengah dan berhasil menemukan katak tanpa paru-paru, hal ini tidak lepas dari kontribusi rekannya dari Chicago yang telah memberikan sampel katak dengan spesies yang sama berasal dari Filipina. Kecurigaannya bermula karena katak tersebut ditempatkan dalam wadah keesokannya mati padahal tanpa kontak tangan manusia. Akhirnya setelah bersusah payah menemukan katak dengan spesies sama setelah diteliti dengan kehati-hatian terungkap bahwa katak tersebut tidak memiliki paru-paru. Setelah dikonfirmasi, ia mengabarkan ke rekannya di Chicago, fenomena ini membuat publik Amerika tercengang. Barbourula kalimantanensis, yang masuk famili Discoglossidae, menjadi penemuan pertama sebagai momentum awal karirnya menjadi seorang herpetologis yang dikenal dunia.

Konflik, Erangan Harimau Sumatera hingga Cerita Mistis warnai Ekpedisi
Sudah banyak ekspedisi keluar masuk hutan yang dilakukan Prof. Djoko selama 40 tahun karinya sebagai seorang herpetologis. Ia mengaku telah menjelajah hutan belantara di 32 provinsi di Indonesia juga di luar negeri seperti Inggris, Amerika, dan Kamboja. Walaupun melakukan ekspedisi keluar negeri ia mengaku bahwa yang ditelitinya tetaplah meneliti organisme yang memiliki kekerabatan dekat dengan Indonesia.

“Indonesia sangat kaya biodiversitas, jika seandainya saya lahir 3 kali pun belum tentu tuntas mengobservasi seluruh kekayaan hayati khususnya reptil,” ungkap Prof. Djoko. Hingga saat ini tercatat lebih dari 100 spesies reptil yang berhasil ditemukan atas kontribusinya sebagai herpetologis. Beberapa peneliti dunia mengabadikan nama Djoko Iskandar sebagai nama 6 spesies reptil diantaranya Djokoiskandarus annulatus, Polypedates iskandari, Draco iskandari, Fejervarya iskandari, Luperosaurus iskandari, dan Collocasiomya iskandari, sebegai bentuk penghormatan atas jasanya dalam dunia herpetologi.

Saat ditemui di ruang kerjanya, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB, Rabu (28/03), Prof. Djoko membagikan pengalaman menarik hingga menegangkan dalam melakukan observasi dilapangan. “Kalau ekspedisi di hutan Jawa itu angker, Sumatera disapa erangan harimau, Kalimantan spesies reptil sedikit, Sulawesi dan Papua memiliki keanekaragaman tinggi namun resiko malaria juga tinggi,” kenang Prof. Djoko.

Ia juga menambahkan bahwa saat melakukan ekpedisi ke wilayah Sulawesi pada tahun 2000 terkendala oleh konflik di Poso. “Kalau malam-malam ban mobil ditusuk, kita bingung ga ada bengkel terdekat, bahkan dibeberapa wilayah sering disangka sebagai orang kaya gila ngabisin duit cuman buat keluar masuk hutan, makanya sering dimanfaatkan,” imbuhnya.

Jadilah Tuan di Daerah Tak Bertuan
Kepiawaiannya melihat peluang telah mengantarkannya menjadi herpetologis yang dipercaya dunia. Katak yang oleh sebagian besar masyarakat dianggap hewan yang menjijikkan, namun dalam sudut pandangnya katak adalah hewan yang istimewa. Diawali krisis finansial, beliau memutuskan meneliti katak dimana tidak ada peneliti Indonesia yang secara khusus menelitinya. Penerima penghargaan Habibie Award 2005 di bidang sains ini mengaku dengan mempelajari katak dapat mengungkapkan misteri yang tersembunyi.

"Katak dapat mewakili kondisi lingkungan habitatnya, keselarasan proses biologi dengan geologi serta mampu memberikan prediksi kondisi geologi dimasa lalu, semisal di wilayah Sulawesi ditemukan 7 spesies katak yang berbeda namun memiliki kekerabatan yang dekat," ujarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa di masa lalu pulau Sulawesi merupakan 7 pulau terpisah yang akhirnya bergabung, menurut beberapa literatur hal ini dikonfirmasi benar. Selain itu, dapat diprediksi pula kapan waktu terjadinya penggabungan pulau tersebut dengan melihat pola evolusi katak.

“Jadilah tuan di daerah bertuan, ingat perlakukan objek yang kalian teliti seperti bayi, rawat, dedikasi, dan kontrol,” pesan Prof. Djoko. Daerah “tak bertuan” memiliki makna jadikan objek penelitian pada lingkup kajian yang belum diteliti atau bahkan tak terpikirkan oleh orang lain misalnya menemukan antibiotik alami dengan mempelajari zat pertahanan tiap spesies katak, mempelajari gerakan stereoskopik mata katak untuk mengembangkan alat pengintai dan hal-hal lainnya. Setelah menemukan objek yang ingin diteliti, selanjutnya ada tips dari dirinya, yaitu konsisten, jangan cepat puas, dan konseptual. "Konsisten berarti harus gigih untuk terus melakukan observasi dan analisis, jangan hanya mencoba 5 sampling sebagai data informasi, lakukan sebanyak-banyaknya sampling agar data semakin akurat dan konseptual yang bermaksud baca banyak literatur untuk memperkuat analisis, perbanyak hasil diskusi untuk memperkecil peluang peneliti lain mengkaji hal-hal yang tidak disebutkan dalam jurnal yang kalian terbitkan," ujarnya.

Kesibukan dan Dedikasi Tak Terhalang oleh Usia
Kini, memasuki usia yang ke-68 tahun, Prof. Djoko menyibukkan diri dengan menjadi dosen di SITH ITB. Tentunya, ia masih aktif meneliti dan menulis jurnal ilmiah dari beberapa spesies yang belum diselesaikan. Tiga tahun yang lalu, lututnya mengalami pembengkakan yang mengharuskannya operasi serta memerlukan proses pemulihan selama enam bulan paska melakukan ekspedisi di Gunung Gandang Dewata, Sulawesi Barat. Prof. Djoko menilai bahwa hal tersebut merupakan peringatan bagi dirinya untuk menyudahi ekspedisi dan cukup meneliti di laboratorium dan melanjutkan menulis. Setelah dikonfirmasi pada Rabu (28/03), dirinya mengungkapkan bahwa dua spesies katak genus Leptobrachella dari Kalimantan baru saja accepted untuk dimuat dalam Current Herpetology yang akan keluar bulan Agustus 2018.

Penulis : Wanna Taf’al Husna

Sumber foto: Narasumber