Orasi Ilmiah Prof. Ahmad Nuruddin Bahas Inovasi Material Semikonduktor Oksida Logam untuk Pemantauan Kualitas Udara

Oleh Azka Madania Nuryasani - Mahasiswa Mikrobiologi, 2022

Editor M. Naufal Hafizh, S.S.


BANDUNG, itb.ac.id – Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung (FGB ITB) mengadakan Orasi Ilmiah Guru Besar di Aula Barat, Sabtu (21/06/2025). Dalam kegiatan tersebut, Prof. Ir. Ahmad Nuruddin, M.Sc., Ph.D. dari Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung (FTI ITB) menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Rekayasa Material Semikonduktor Oksida Logam untuk Aplikasi Sensor Lingkungan”.

Dalam orasinya, Prof. Ahmad Nuruddin mengakui pesatnya kemajuan teknologi yang telah membawa peningkatan kualitas hidup di berbagai sektor, dari layanan kesehatan hingga transportasi dan otomatisasi industri. Namun, kemajuan teknologi juga diiringi dengan dampak negatif, khususnya pada penurunan kualitas udara.

“Studi menunjukkan bahwa kualitas udara yang buruk berkorelasi dengan peningkatan penyakit pernapasan kardiovaskular. Sehingga organisasi kesehatan dunia atau WHO memperkirakan sekitar 7 juta kematian dini setiap tahunnya dapat dikaitkan dengan polusi udara sebagai akibat dari paparan-paparan gas berbahaya,” ujar Prof. Ahmad Nuruddin.

Untuk itulah perlunya mengetahui konsentrasi gas berbahaya tersebut dengan memantau secara terus-menerus. Sistem pemantau gas berbahaya pun perlu dibangun dan sensor gas perlu dikembangkan.

Beliau memaparkan dasar Metal Oxide Semiconductor (MOS), yaitu senyawa anorganik dari unsur logam dan oksigen yang memiliki sifat semikonduktor, yang mengantarkan listrik berinteraksi dengan gas dan sekitarnya.

Beliau menjelaskan mekanisme deteksi gas, seperti deteksi H2S oleh material MOS tipe-N. Saat O2 hadir di sekitar permukaan sensor, molekulnya terserap dan mengion menjadi O2 dengan cara menarik elektron dari pita konduksi, membentuk daerah deplesi yang menyebabkan kenaikan resistansi. Ketika gas hidrogen sulfida (H2S) hadir, gas ini bereaksi dengan ion oksigen, sehingga elektron dikembalikan ke pita konduksi, menipiskan daerah deplesi, dan menurunkan resistansi. Jika gas H2S dihilangkan, proses kembali ke kondisi awal, oksigen kembali terserap, dan resistansi naik lagi. Proses ini bersifat reversibel dan berulang.

Untuk mengukur efektivitas sebuah sensor gas, Prof. Ahmad Nuruddin menekankan lima kriteria kinerja utama: sensitivitas, waktu respons, waktu pulih, selektivitas, dan stabilitas.

Di Laboratorium Material Fungsional Maju, Prof. Ahmad Nuruddin dan timnya melakukan pengembangan material sensor berbasis MOS dan fokus pada Seng Oksida (ZnO) sebagai material utama sensor. ZnO dipilih karena sensitivitasnya terhadap gas pereduksi, permukaan ZnO kaya akan vakansi oksigen, dan potensi modifikasi. Tim beliau menunjukkan bahwa ZnO hasil sintesis laboratorium memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dibanding ZnO komersial, yang berdampak langsung pada peningkatan sensitivitas sensor. Namun, salah satu tantangan utama dari penggunaan ZnO murni adalah kebutuhan suhu operasi yang cukup tinggi (sekitar 350°C) agar dapat mendeteksi gas secara optimal.

Untuk mengatasi kendala tersebut, dilakukan berbagai inovasi lanjutan. Pertama, doping aluminium pada ZnO untuk meningkatkan konduktivitas dan sensitivitas hingga 36%, meskipun masih memerlukan suhu tinggi. Kedua, komposit ZnO-MWCNT (Multi-Walled Carbon Nanotubes) yang mampu mendeteksi gas SO2 sebanyak 30 ppm hanya dalam 9 detik dan waktu pulih 10,2 detik pada suhu yang lebih rendah, yaitu 150°C. Ketiga, gabungan ZnO dan RGO (Reduced Graphene Oxide) yang menghasilkan sensor dengan respon cepat dan sinyal kuat, serta mampu bekerja dalam rentang suhu luas (100–300°C). Terakhir, kombinasi WO2 (Tungsten Trioksida) dan graphene digunakan untuk mendeteksi CO secara stabil hingga 5 hari meski dengan waktu respons lebih lama, yaitu 270 detik atau 4,5 menit.

Prof. Ahmad Nuruddin mengakui bahwa meskipun banyak kemajuan telah dicapai, masih ada beberapa tantangan signifikan dalam pengembangan sensor material tersebut.

“Tantangan yang kami hadapi dalam pengembangan material sensor ini paling tidak ada empat tantangan yang dalam dalam arah pengembangan dengan pengembangan sensor gas ini. Yang pertama adalah selektivitas yang rendah pada campuran bermacam-macam gas, kedua suhu operasi yang relatif tinggi untuk mencapai sensivitas/respons yang optimal, ketiga lamanya waktu respons dan waktu pulih menghambat deteksi cepat, dan keempat ketidakstabilan sensor untuk jangka waktu yang panjang,” ujarnya.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, arah pengembangan sensor gas berbasis MOS ke depan akan berfokus pada rekayasa struktur nano untuk meningkatkan luas permukaan aktif, modifikasi permukaan melalui doping dan sensitisasi, pengembangan heterostruktur dan junction, penurunan suhu operasi, dan pendekatan green chemistry dalam sintesis material.

Reporter: Azka Madania Nuryasani (Mikrobiologi, 2022)

#orasi ilmiah #fti