Orasi Ilmiah Prof. Elfahmi: Peran Bioteknologi dalam Pengembangan Jamu

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Indonesia terkenal akan keanekaragaman hayatinya, termasuk yang dimanfaatkan sebagai obat. Saat ini, 25 persen obat yang beredar berasal dari tanaman.

Sistem pengobatan tradisional di Indonesia dikenal sebagai jamu. Berkat pengembangan ilmu pengetahuan, jamu kini telah berevolusi menjadi obat modern yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF ITB) Prof. Dr. Elfahmi, S.Si, M.Si pada Orasi Ilmiah Guru Besar, Sabtu (18/3/2023), di Aula Barat ITB. Judul orasi ilmiah yang disampaikan yakni “Jamu: Tradisional Sampai Era Modern Bioteknologi Meningkatkan Kadar Zat Berkhasiat Tanaman Obat”.

Prof. Elfahmi mengangkat “Jamu” sebagai topik orasinya karena penggunaannya di Indonesia yang sudah turun temurun. Bahkan, setiap budaya di Indonesia memiliki kebiasaan untuk meramu obat sendiri. Melalui pendekatan studi etnofarmakognisi, Jamu mulai berevolusi menjadi obat herbal modern.
“Bahkan saya berteman dengan dukun lalu kita teliti dan cari informasinya. Apa yang diklaim dukun terbukti secara ilmiah bahkan melebihi obat yang pernah diteliti,” ungkap Prof. Elfahmi.

Pada saat ini, tanaman obat mampu diolah menjadi empat pendekatan. Pertama, tanaman obat tetap diolah dan diambil ekstraknya untuk jadi jamu dan obat herbal. Kedua, melalui pendekatan modern, contohnya jamu yang berkembang menjadi obat komersial (obat herbal) yang harus terdaftar di BPOM. Obat herbal sendiri dikategorikan menjadi tiga yakni jamu terdaftar di BPOM, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka (obat dengan kualitas paling bagus dan relevan dengan obat modern).

Pendekatan ketiga, tanaman obat dapat dijadikan obat konvensional dari bahan alam (plant derrived drugs) yang pengolahannya berasal dari hasil isolasi ekstrak tanaman obat. Pendekatan terakhir, nutrasetikal atau nutrisi yang bisa memperbaiki kondisi kesehatan manusia, biasanya digunakan dalam kosmetik.
Pengembangan obat herbal memiliki empat tantangan besar. Pertama, khasiat obat herbal belum dibuktikan secara ilmiah. Namun terbantah oleh adanya pendekatan metodologis untuk membuktikannya dengan uji pre klinis dan uji klinis.

Kedua, senyawa aktif farmakologi sering tidak diketahui. Seiring pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan untuk mengisolasi senyawa berkhasiat menjadi senyawa murni.

Ketiga, standardisasi yang sangat bergantung pada kadar senyawa tanaman. Hal ini guna mencapai keamanan, khasiat, dan mutu tanaman obat. Untuk melakukannya diperlukan senyawa marker. Prof. Elfahmi berhasil membuat senyawa marker yang telah digunakan peneliti dan industri di Indonesia. Inovasi ini mampu menyubstitusi produk impor karena sebelumnya peneliti mengimpor senyawa marker.

“Tanaman pegagan mempunyai dua senyawa berkhasiat yakni asiatikosida dan madekasosida. Kita koleksi dari Jatinangor di beda tempat, ternyata hasilnya menunjukan kadar senyawa yang berbeda hingga 100-1000 kali,” ungkap Prof. Elfahmi.

Keempat, rendahnya kadar senyawa aktif di tanaman. Prof. Elfahmi menjawab tantangan ini dengan pendekatan bioteknologi. Beberapa metode yang telah dilakukannya yakni Teknologi Kultur Jaringan, Tranformasi Genetik, dan Teknik Rekayasa Genetik.

Metode kultur jaringan pada tanaman dilakukan dengan menduplikasi nutrisi dalam tanah ke media tanam yang lain. Kultur jaringan dimanfaatkan untuk mendapatkan bibit tanaman yang baik dengan kadar senyawa yang lebih tinggi. Dalam presentasinya, Prof. Elfahmi memberikan contoh pada tanaman meniran, tebu kunci (kandungan utama jamu), dan kumis kucing yang ketiganya dikembangkan di labu erlenmeyer.

Lalu, kultur jaringan berkembang menjadi transformasi genetik dengan menginjeksikan bakteri Agrobacterium rhizogenes ke tanaman. Kemudian, gen dari bakteri mampu menstimulasi terbentuknya akar pada tanaman. Pada saat yang sama, tanaman akan memicu respons produksi metabolasi sekunder. Metode ini telah dilakukan oleh Prof. Elfahmi pada senyawa Artemesinin untuk obat malaria dan didapat kadar 0,29%.

Metode teknik rekayasa genetik menjadi metode yang efektif untuk meningkatkan kadar senyawa tanaman dalam waktu yang singkat. Metode ini memungkinkan untuk produksi senyawa metabolit sekunder di tanaman dengan mikroorganisme (bakteri, jamur, dan sebagainya).

Penelitian ini terus dilakukan oleh para peneliti secara global dalam rangka menghasilkan S.cereviceae rekombinan yang mengandung kadar artemisinin dan atau turunannya. Hasilnya, asam artemisinat diproduksi dalam jumlah besar yakni 25g/L yang selanjutnya disintesis menjadi senyawa artemisinin secara kimia.
Pendekatan bioteknologi menjadikan obat tradisional tidak kalah saing dengan obat modern. Rendahnya senyawa obat pada tanaman bukan menjadi hambatan pengembangan obat herbal. Harapannya, produksi obat herbal mampu bertahan di segala kondisi. Jamu yang telah berkembang menjadi obat herbal telah terbukti khasiatnya tanpa meninggalkan pengetahuan aslinya.

Prof. Elfahmi sendiri tergabung dalam Kelompok Keahlian Biologi Farmasi yang sekaligus sedang menjabat sebagai Wakil Dekan Akademik SF ITB. Beliau juga aktif sebagai Kepala PUI-Nutrasetikal, PP BB-ITB dan wakil ketua STP PIU ITB. Penelitian dan inovasi sudah melekat dalam dirinya.

Prof. Elfahmi telah mempublikasikan 75 artikel pada jurnal internasional, 57 di antaranya terindeks scopus. Prof. Elfami juga sempat memperoleh penghargaan Inovator Terbaik ITB pada Prima ITB 2022. Berbagai temuannya mampu mengantarkannya menjadi menjadi pembicara seminar internasional di 23 negara hingga kini membawanya sebagai Guru Besar.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)