Pakar ITB Ungkap Alasan Gempa di Jepang Memicu Tsunami dan Efektivitas Sistem Peringatan Dini
Oleh Anggun Nindita -
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id – Gempa bumi terjadi di daerah Noto di Prefektur Ishikawa, Jepang, Senin (1/1/2024). Berdasarkan data dari Japan Meteorological Agency, kekuatan gempa tersebut 7.6 skala ricther dan terjadi pukul 14.10 waktu setempat.
Skala intensitas seismik tersebut mencapai angka 7, yang artinya saat terjadi gempa hampir semua perabotan yang tidak dipasangi penahan akan berpindah tempat atau jatuh, dan mungkin terbang.
Selain di Ishikawa, gempa juga terasa di sejumlah daerah lainnya seperti Niigata, Toyama, Niigata, Toyama, Fukui, Nagano, Gifu, Tokyo, Yamagata, Fukushima, Ibaraki, Saitama, Tochigi, Miyagi, Gunma, Shizuoka, Aichi, Mie, Shiga, Kyoto, Osaka, Hyogo, Nara, Tottori, Iwate, dan Akita.
Berdasarkan laporan Reuters, gempa tersebut memicu gelombang tsunami dengan ketinggian lebih dari 1 meter di sepanjang pesisir barat Jepang, membuat aliran listrik putus, dan mengharuskan warga pesisir pantai mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.
Pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof. Dr. Irwan Meilano, S.T., M.Sc., mengatakan, sumber gempa di pantai timur Jepang lebih berbahaya karena kekuatannya dapat mencapai 8 skala ricther. Namun, gempa di pantai barat pun, seperti yang terjadi di Ishikawa, memiliki potensi gempa yang cukup signifikan meski gempanya tidak sebesar di pantai timur.
“Gempa di wilayah pantai timur Jepang tidak sebesar pantai barat. Namun bisa menghasilkan tsunami dan goncangannya lebih kuat karena lebih dekat dengan garis pantai,” ujarnya, Selasa (2/1/2024).
Dalam konteks gempa di Jepang, kata beliau, gempa awal tahun 2024 tersebut bukan gempa terkuat yang terjadi di negara tersebut. Namun, untuk wilayah pantai barat termasuk gempa yang terkuat. Hal ini karena pertemuan antar lempengnya lebih dekat dengan garis pantai dibandingkan dengan pantai timur.
“Yang menjadi concern, lokasi gempa sangat dekat dengan daratan, dengan kota-kota besar seperti Ishikawa, Kanazawa, dan juga infrastruktur strategis Jepang lainnya,” tuturnya.
Beliau mengatakan, setelah gempa besar terjadi, umumnya akan terjadi banyak gempa susulan. Terdapat dua faktor yang menyebabkan hal tersebut, yakni magnitudo gempa yang besar dan waktu. Semakin besar magnitudonya, gempa susulan berpotensi lebih banyak. Sementara itu, dalam jangka waktu yang dekat sejak gempa pertama, gempa susulan pun akan lebih banyak. Seiring waktu, gempa susulan semakin sedikit dan magnitudonya semakin kecil.
Faktor lainnya yang menjadikan gempa susulan banyak terjadi karena banyaknya jaringan pengamatan gempa di Jepang. Dengan demikian, gempa-gempa kecil pun akan terdeteksi.
"Jumlah (gempa) itu, selain dari magnitudo juga dipengaruhi faktor kapasitas kita untuk mengamati. Kalau kita semakin baik mengatami akan terlihat lebih banyak gempa susulannya,” ujarnya.
Dari gempa di awal tahun ini, beliau mengatakan, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi pelajaran. Pertama, sistem peringatan dini di Jepang yang sangat baik.
“Sistem tersebut menjadi penting karena mereka memiliki infrastruktur strategis, reaktor nuklir, kereta api cepat, dan itu harus dihentikan seketika sesudah gempa terjadi sebelum gelombang gempanya mencapai tempat mereka. Ini juga penting bagi masyarakat. Ini pembelajaran yang sangat penting, jadi selayaknya pun kita sudah memiliki kapasitas,” ujarnya.
Kedua, pembelajaran dalam konteks infrastruktur kualitas bangunan. Dibandingkan dengan goncangan gempa, kerusakan yang terjadi lebih sedikit. Hal ini membuktikan bahwa Jepang memiliki kualitas infrastuktur yang sangat baik.
Reporter: M. Naufal Hafizh
Editor: M. Naufal Hafizh