Pengenalan Psychology Capital dan Self Assesment oleh SBM ITB
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Bertempat di Auditorium SBM, hari Sabtu (29/4) kemarin, SBM telah menyelenggarakan acara “Pengenalan Psychology Capital dan Self Assesment” yang dibawakan oleh Wakil Dekan Bidang Akademik SBM ITB, Prof. Dr. Jann Hidayat Tjakraatmadja. Acara yang dihadiri oleh para mahasiswa ITB angkatan 2002 ini sebenarnya adalah riset SBM yang didanai oleh LPPM ITB untuk mengenali potensi dan karakter sumber daya manusia ITB yang akan terjun ke dunia kerja.
Pada sesi pertama Prof. Dr. Jann Hidayat Tjakraatmadja membuka acara tersebut dengan pemaparan ‘Psikologi Positif’. Pada paparannya tersebut beliau menjelaskan tentang sinergisasi IQ dan EQ oleh SQ serta apa yang dimaksud dengan psikologi positif. Berulang kali beliau menekankan pentingnya kecerdasan emosi dan spiritual di samping IQ. “Mahasiswa ITB itu IQ-nya sudah tidak perlu diragukan lagi. Sekarang bagaimana caranya membenahi EQ dan SQ-nya? Sebab di dunia kerja nanti IQ tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kesuksesan Anda. Justru EQ-lah yang berpengaruh besar.” Jelas beliau kepada para peserta. “Masalahnya apakah dunia pendidikan kita mengembangkan kecerdasan (EQ) ini?”
Di akhir paparannya, beliau menjawab pertanyaan dari salah seorang peserta tentang sebab menurunnya kualitas ITB dilihat dari riset dosen dan prestasi mahasiswanya di saat ITB dituding terlalu banyak mengembangkan IQ semata. Analisis beliau, riset dosen tidak lagi mutakhir karena kebanyakan dosen memiliki terlalu banyak kegiatan di luar kampus yang mengurangi jam risetnya di laboratorium. Kegiatan tersebut juga mengurangi jam interaksinya dengan mahasiswa di kelas, sehingga transfer ilmu tidak berlangsung maksimal. Fenomena demikian berawal dari ketidakseimbangan antara gaji dan tuntutan terhadap dosen, sehingga dosen harus mencari sumber pendapatan di luar profesinya sebagai dosen.
Ditemui itb.ac.id di sela acara, Jann yang mengadakan riset ini bersama 5 civitas SBM yang lain mengatakan bahwa adalah penting untuk me-manage sumber daya manusia ITB sedemikian rupa agar ITB berkembang. “Bukan hanya Indonesia, selama ini dunia pendidikan di dunia-hingga akhir era ‘80-hanya berfokus kepada pengembangan IQ semata. Baru sekarang semuanya terkejut, ‘Apa yang akan kita lakukan sekarang?’” Beliau mengatakan bahwa Unit Kegiatan Mahasiwa adalah sarana yang baik untuk mengembangkan kecerdasan selain IQ, olahraga dan seni mengandung berbagai nilai untuk melatih softskill. “Tetapi dengan fasilitas yang ada sekarang, unit-unit kegiatan mahasiswa mati tidak, hidup juga tidak.” Beliau membandingkan atmosfer kemahasiswaan sekarang dengan era beliau di tahun 1973, “ITB sangat mendorong adanya kegiatan ekstrakulikuler lewat unit-unit tersebut.”
Tentang SBM sendiri, Jann berbangga hati dengan sekolah bisnis yang tidak ada duanya ini. “Nanyang, MIT, sewaktu melihat SBM langsung berkomentar, ‘Aneh.’ Sebab di tempat mereka tidak ada sistem pembelajaran seperti di SBM ini. SBM mengadopsi berbagai sistem. Kami memberlakukan team-base learning, sistem SKS-nya sendiri kita adopsi dari Nanyang dimana satu SKS sama dengan satu setengah jam. Berbagai mata kuliah yang mendukung pengembangan kecerdasan selain IQ dimasukkan ke dalam mata kuliah wajib. Kalau boleh saya katakan, di SBM sudah tercipta banyak inovasi.”
Tentang visi pribadinya terhadap ITB di masa depan, Jann berujar bahwa ia sangat mendambakan hadirnya social sciences sebagai pelengkap di ITB. “Saya bukan orang yang suka memperdebatkan istilah institut atau universitas. Mari kita lihat MIT, mereka juga memiliki social sciences. Apa lantas nama mereka berubah menjadi MU? Mereka tetap institut, technological institute.”
(astriddita)