Penggunaan Alga sebagai Sistem Fasad Bangunan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Fasad atau tampak (muka) pada sebuah bangunan merupakan hal penting dalam peracangan arsitektur. Biasanya tampak bangunan terbuat dari bahan-bahan konvensional, seperti kaca (bidang transparan) atau bidang solid (dinding) atau variasi keduanya. Namun bagaimana jika alga dimanfaatkan sebagai salah satu elemen dalam arsitektur atau bangunan? Hal itulah yang coba dilakukan oleh Prof. Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo dkk. dalam penelitiannya tentang Kelayakan Penggunaan Alga sebagai Implementasi Perancangan Bangunan Berbasis Energi Terbarukan.
Alga atau ganggang merupakan mikro organisme yang dapat berfotosintesis dan berkembang dalam waktu yang sangat cepat. Mereka dapat tumbuh di air, toleran terhadap berbagai macam salinitas (kadar garam) dan suhu. Pada penelitian tersebut, jenis alga yang dipilih ialah alga chlorella atau alga hijau. Mikro organisme ini juga berfungsi untuk mengangkat karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen. Dengan sifat dan manfaat alga tersebut, maka akan dicobakan pada fasad bangunan.
Menurut Prof. Widjaja, penelitian tersebut diimplementasikan pada kasus nyata perancangan bangunan ITB Innovation Park di Jalan Ganesha Bandung. Rencananya, pada lokasi tersebut akan dibangun bangunan baru berlantai empat yang disisipkan kedalam kawasan Cagar Budaya. Pendekatan desain juxtaposisi dengan tampilan visual berbeda (sederhana) dipilih untuk menghindari replikasi atau pengulangan/peniruan pola-pola tampilan visual bangunan eksisting. Sikap “kontras” bangunan baru ini, di dalam wacana desain kontekstual, membuka kesempatan agar bangunan Cagar Budaya yang ada tetap menonjol.
"Bangunan baru ini berbatasan langsung dengan bangunan Cagar Budaya (Kantor LPiK). Inspirasi rancangan bangunan ITB Innovation Park ini muncul ketika saya menemukan artikel tentang penggunaan material hidup (bio-material) untuk bangunan apartemen di Hamburg, Jerman. Fasad bangunan tersebut memakai secondary skin algae-photobioreactor. Selama ini kan kita selalu terbiasa dalam merancang bangunan memakai bahan-bahan konvensional," ujarnya kepada Humas ITB, Rabu (19/6/2019).
Karena batasan lahan perencanaan, bangunan ITB Innovation Park memiliki muka bangunan yang menghadap ke timur dan barat. Dengan posisi geografis Indonesia pada ekuator sisi barat dan timur bangunan jika ada bukaan (jendela) paling bermasalah karena sun exposure. Penggunaan Algae-photobioreactor bukan sekedar elemen estetika, tetapi sekaligus secara fungsional menjadi solusi untuk mengurangi terpaan panas matahari langsung ke fasad bangunan.
*Prof. Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo (Foto: Humas ITB)
Atas dasar itu, Prof. Widjaja beserta tim membuat sebuah riset untuk meyakinkan bahwa alga bisa dipakai untuk sistem fasad bangunan. Dalam riset tersebut, ada dua sistem fasad yang dipakai sebagai pembanding, yaitu fasad dari brise-soleil, dan horizontal shading device (sirip horisontal) yang diuji coba melalui simulasi komputer (open studio and energy plus programs). Setelah disimulasikan, kedua alternatif sistem fasad memberikan hasil yang berbeda-beda, khususnya bila dikaitkan dengan kemampuan meredam panas. Hasil simulasi menunjukkan bahwa, penggunaan brise-soleil menghasilkan perbedaan temperatur luar dan dalam bangunan sebesar 3,412 oC, dan untuk penggunaan horizontal shading device menghasilkan 3,52 oC.
Namun dalam pengujian model sederhana sistem fasad yang menggunakan alga dengan cara disinari langsung matahari lalu diukur hasil temperaturnya menunjukkan perbedaan paling signifikan, yaitu 6,447 oC. "Dengan demikian, terdapat perbedaan suhu yang signifikan, sehingga penggunaan energi untuk mendinginkan ruangan menjadi kecil jika memakai algae sebagai fasad," ujarnya.
Adapun rencana sistem instalasi fasad alga akan dilakukan pada muka bagian barat bangunan. Di lantai semi basemen telah disiapkan ruang khusus untuk laboratorium mikro alga, yang juga telah didiskusikan dengan Dr. Gede Suantika dari SITH. Desain awal algae-photobioreactor pada fasad bangunan pada awalnya dirancang dalam bentuk bidang persegi-panjang sebagai secondary skin sisi barat bangunan. Saat ini desain algae-photobioreactor sedang dikembangkan dalam bentuk tabung silinder.
Riset mengenai sistem fasad dari alga sendiri dimulai pada tahun 2017, dengan dana riset P3MI ITB. Hasil risetnya sudah diseminarkan dan sudah dipublikasikan pada Journal Architecture and Urbanism (Q2). Dia memaparkan, penggunaan alga sebagai bagian dari sistem fasad bangunan merupakan suatu terobosan baru dan pertama kali di Indonesia bahkan Asia Tenggara.
"Kita berharap betul bahwa bangunan-bangunan baru di ITB ini memiliki sesuatu yang khas, yang mencerminkan teknologi, ilmu pengetahuan dan ramah terhadap lingkungan. Dan yang tidak kalah penting, dengan kemampuan alga ini menghasilkan oksigen dan menangkap CO2, maka oksigen sebagai hasil foto sintesis direncanakan akan disalurkan ke ruang-ruang di dalam bangunan, sehingga terjadi proses purifikasi udara,” ujarnya.
Manfaat lain dari alga ini, ia menambahkan, jikalau dipanen secara serius, bio-massa bisa diolah menjadi kosmetika, bahan makanan, dan lebih lanjut melalui proses khusus bisa diolah menjadi sumber energi listrik. Dalam prakteknya, pembangunan gedung ITB Innovation Park ini, selain memanfaatkan alga, juga akan menggunakan sel surya (photovoltaics) untuk konversi cahaya matahari menjadi energi listrik yang akan digunakan untuk sebagian operasi bangunan. Oleh karenanya, aplikasi riset alga ini dipastikan akan melibatkan sejumlah ahli dari berbagai disiplin. "Saya berharap, hasil riset ini bisa dekat dengan (dikenal) masyarakat dan juga dekat dengan kita (lingkungan kampus), artinya, bisa dipakai untuk kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pembelajaran di kampus ITB," pungkasnya.