Mengapa Terjadi Likuifaksi di Palu Menurut Ahli Geologi ITB

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Dr.Eng.Imam Achmad Sadisun dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB (Foto: Humas ITB)



BANDUNG, itb.ac.id -- Bencana gempa yang mengguncang Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah, juga menimbulkan fenomena likuifaksi atau banyak yang menyebut 'tanah bergerak' sendiri. Tercatat ada ribuan rumah yang terkena dampak likuifaksi dengan luas ratusan hektar.

Ahli Geologi, Dr.Eng.Imam Achmad Sadisun dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB menjelaskan, fenomena likuifaksi secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan material yang padat (solid), dalam hal ini berupa endapan sedimen atau tanah sedimen, yang akibat kejadian gempa, material tersebut seakan berubah karakternya seperti cairan (liquid). 

Sebenarnya, kata Dr. Imam, likuifaksi hanya bisa terjadi pada tanah yang jenuh air (saturated). Air tersebut terdapat di antara pori-pori tanah dan membentuk apa yang seringkali dikenal sebagai tekanan air pori. Dalam hal ini, tanah yang berpotensi likuifaksi umumnya tersusun atas material yang didominasi oleh ukuran pasir. 

"Karena adanya gempa bumi yang umumnya menghasilkan gaya guncangan yang sangat kuat dan tiba-tiba, tekanan air pori tersebut naik seketika, hingga terkadang melebihi kekuatan gesek tanah tersebut. Proses itulah yang menyebabkan likuifaksi terbentuk dan material pasir penyusun tanah menjadi seakan melayang di antara air," katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, jika posisi tanah ini berada di suatu kemiringan, tanah dapat 'bergerak' menuju bagian bawah lereng secara gravitasional, seakan dapat 'berjalan' dengan sendirinya. Sehingga benda yang berada di atasnya, seperti rumah, tiang listrik, pohon, dan lain sebagainya ikut terbawa.

*Foto wilayah Palu yg terkena likuifaksi diolah oleh Lapan, Center for Remote Sensing ITB dan AIT

"Secara lebih spesifik, kejadian ini disebut sebagai aliran akibat likuifaksi (flow liquefaction). 
Efek dari likuifaksi juga kadang-kadang berbeda kalau kekuatan gesek tanahnya belum terlampaui, tekanan air pori yang naik cukup kuat, hanya mengakibatkan retakan-retakan di tanah tersebut. Dan dari retakan-retakan itu akan muncul air yang membawa material pasir," ujarnya. 

Contoh kejadian ini kata Dr. Imam, banyak dijumpai di gempa Lombok. Seringkali ada lubang air di permukaan yang membawa pasir, atau suatu sumur tiba-tiba terisi pasir. Itu semuanya sebenarnya juga akibat likuifaksi, yang dikenal sebagai produk cyclic mobility.

Dia menjelaskan, potensi likuifaksi pada suatu tempat bisa diidentifikasi, bahkan bisa dihitung. Secara sederhana, dari jenis tanahnya saja yang umumnya berupa pasir, sampai dengan pendekatan analitik kuantitatif, dengan menghitung indeks potensi likuifaksi. Secara umum likuifaksi terjadi pada wilayah yang rawan gempa, muka air tanah dangkal dan tanahnya kurang terkonsolidasi dengan baik.

"Memang terkadang agak susah (mengetahui likuifaksi), tapi dalam tingkatan yang paling sederhana, kalau bangunan kita duduk di atas material tanah pasir yang lepas, dengan muka air tanah yang relatif dangkal, dan berada pada daerah berpotensi gempa tinggi," katanya. 

Dia mengatakan, likuifaksi umumnya terjadi pada gempa di atas 5 SR dengan kedalaman sumber gempanya termasuk dalam kategori dangkal. Material yang terlikuifaksi umumnya berada pada kedalaman skitar 20 meteran, meskipun terkadang bisa lebih, tergantung penyebaran tanahnya. Likuifaksi hanya terjadi di bawah muka air tanah setempat, tidak tejadi di atas muka air tanah. 

"Secara rekayasa, potensi likuifaksi bisa dikurangi, yaitu dengan membuat material tanah menjadi lebih padat atau keras dengan cara pencapuran dengan semen (soil mixing), injeksi semen (grouting), dengan membuat pondasi dalam sampai tanah keras, dan masih banyak lagi yang lainnya, namun kendalanya adalah dari biaya yang tinggi, untuk rumah biasa seperti itu sulit tapi untuk bangunan yang tinggi itu harus," pungkasnya.