Pentingnya Menimbang Risiko Bencana dalam Arsitekur Lanskap Cekungan Bandung
Oleh M. Naufal Hafizh
Editor M. Naufal Hafizh
BANDUNG, itb.ac.id — Ikatan Arsitektur Lanskap Indonesia (IALI) Jawa Barat (Jabar) melalui Program Studi Magister Lanskap ITB menggelar “FIRST: Expert and Professional Lecture Series Seri 2” di Gedung Labtek IXA, ITB Kampus Ganesha, Senin (26/2/2024).
Dr. Dasapta Erwin Irawan, S.T., M.T., pakar hidrogeologi dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan ITB, memberikan wawasan mengenai arsitektur lanskap yang merupakan gabungan dari natural sciences, physical sciences, designs, dan art. Para perancang lanskap menggabungkan pengetahuan tentang alam dan fungsinya, dikombinasikan dengan aspek seni dan desain.
“Lantas apa kaitannya geologi dengan arsitektur lanskap? Sering kita hanya memperhatikan kondisi permukaan, tidak melihat apa yang ada di bawah tanah. Padahal, air tanah di setiap tempat tidak otomatis ada dan tidak selalu sama dengan daerah sekelilingnya,” ujarnya.
Beliau menyampaikan kondisi cekungan Bandung yang dikelilingi gunung-gunung. “Cekungan Bandung seperti sebuah mangkuk yang dipagari oleh gunung di segala penjuru. Di sebelah utara ada Gunung Burangrang dan Gunung Tangkuban Parahu. Di sisi timur menjulang Gunung Manglayang. Di bagian selatan terdapat Gunung Papandayan, Gunung Malabar, dan Gunung Patuha. Semuanya adalah gunung vulkanik. Sementara di wilayah barat, yang cukup unik, terdapat kawasan Rajamandala yang tersusun dari batuan karst,” tuturnya.
Beliau menjelaskan bahwa dataran Bandung mulanya merupakan danau purba. Dasar danau itu dulunya berada di elevasi 650 mdpl. Akibat aktivitas vulkanik oleh berbagai gunung api di sekitarnya, danau itu surut, berubah menjadi dataran aluvial yang terdiri atas pasir dan lempung lunak yang subur. Material itu berasal dari erosi endapan gunung api dan sungai.
“Kemarin kita digegerkan dengan pengeboran air tanah di Kecamatan Margahayu. Kedalamannya sudah menembus 30 meter, tetapi justru lumpur hitam berbau anyir dan lembek yang didapati, tidak berhasil menyentuh tanah keras. Itu adalah bukti nyata endapan danau purba, butirannya sangat halus dan minim kandungan pasir. Endapan ini usianya sekitar 135.000–20.000 tahun yang lalu, dalam skala waktu geologi masih tergolong muda. Secara alamiah, endapan yang lunak rentan mengalami subsidens,” kata Dr. Erwin.
Jika terjadi gempa, kata beliau, datarannya akan berubah seperti bubur yang suatu waktu bisa tumpah atau terjadi likuefaksi. Lapisan akuifer akan bercampur dengan lapisan lain, termasuk lempung yang berwarna hijau. Akibatnya, air tanah menjadi keruh atau bahkan mengering. Guncangan pada dataran lunak ini juga akan mengamplifikasi magnitudo gempa.
“Ini adalah tantangan besar untuk para perencana lanskap. Keindahan rancangan memang diutamakan, tapi tidak boleh mengabaikan risiko dan bencana yang membayangi. Setiap bentang alam tentu memiliki bentuk unik dan khusus, yang pasti ada kaitannya dengan sesuatu di balik permukaan tanahnya. Oleh karena itu, diperlukan dukungan data primer yang rinci dan perspektif multidisiplin untuk mengurai permasalahan lanskap. Melihat cerita kegagalan pembangunan di masa lalu juga penting agar perancang lansap tidak mengulangi kesalahan yang sama,” bebernya.
Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)