Peraih Nobel Kimia 1988 Berikan Kuliah Umum di ITB

Oleh Ria Ayu Pramudita

Editor Ria Ayu Pramudita

BANDUNG, itb.ac.id - Dalam rangka merayakan tahun 2011 sebagai Tahun Kimia Internasional, Himpunan Kimia Indonesia mengundang Profesor Robert Huber, peraih Nobel Kimia 1988 untuk Penentuan Struktur Pusat Reaksi Fotosintesis, untuk memberikan kuliah umum di Aula Barat ITB pada Senin (01/08/11). Dalam kesempatan tersebut, Huber menyampaikan materi dengan judul 'Proteins and Their Structure at the Interface of Physics, Chemistry, Biology, and Application in Medicine'.
Dalam kuliah umum yang dipandu oleh Dr. Rukman Hertadi dari Kelompok Keahlian (KK) Biokimia, program studi Kimia ITB ini, Prof. Huber memaparkan perjalanan panjangnya menggeluti studi mengenai protein, yang mengantarkannya kepada penghargaan Nobel Kimia 1988. Dimulai dari penentuan struktur protein menggunakan berbagai metode, Prof. Huber mempelajari lebih lanjut mengenai dinamika molekuler dari protein menggunakkan teknik kristalografi sinar-X. Dengan teknik ini, pergerakan protein dapat diketahui dengan cara 'membekukan' protein dan menemukan snapshots dari berbagai konformer (alternatif bentuk molekul, red) yang dimiliki oleh protein. Studi mengenai protein merupakan sebuah studi multidisipliner, yang menggabungkan fisika dan kimia dengan biologi.

Studinya mengenai protein dan teknik kristalografi mengantarkan Prof. Huber meneliti pusat reaksi fotosintesis dalam tumbuhan yang dikenal dengan nama fotosistem. "Fotosintesis merupakan satu-satunya aktivitas yang dapat diamati dari luar angkasa," ujarnya dalam bahasa Inggris ketika menjelaskan motivasinya melakukan penelitian tersebut. Dalam sumber lain, Prof. Huber juga menyatakan bahwa fotosintesis merupakan reaksi kimia terpenting di Bumi. Dia meneliti pycobilisom dengan berbagai instrumen fisika seperti mikroskop elektron dan juga dengan teknik kristalografi sinar-X untuk memahami mekanisme fotosistem I dan fotosistem II dalam reaksi fotosintesis. Penelitian selama bertahun-tahun inilah yang mengantarkan Prof. Huber memperoleh penghargaan Nobel Kimia pada usia 51 tahun. Menceritakan anugerah ini, Prof. Huber menceritakan kisah lucu mengenai jabat tangan yang dilakukannya pada saat menerima penghargaan Nobel di panggung.

Saat ini, ketertarikan ilmiah Prof. Huber tertuju pada proteasom, sebuah kompleks protein yang berfungsi untuk menghancurkan protein dalam sel yang tidak lagi dibutuhkan. Telah ada obat kimia yang dapat menghambat aktivitas proteasom, sehingga obat tersebut mampu mengurangi aktivitas penyakit multiple myeloma. Prof. Huber melihat prospek studi mengenai proteasom dapat mengantarkan manusia untuk menemukan obat bagi penyakit malaria dan tuberkulosis: dua pembunuh utama di dunia.

Selain melakukan riset, Prof. Huber juga berhasil merintis dua perusahaan bioteknologi di Martinsreid, Jerman. Proteros bergerak dalam platform kristalografi protein sementara Suppremol mengembangkan strategi-strategi baru untuk mengoptimalkan kinerja protein untuk pengobatan.

Dalam sesi tanya jawab, Prof. Huber menanggapi dengan baik pertanyaan dari Prof. Susanto yang menanyakan seberapa jauh pendekatan molekuler harus dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan dalam biologi. Kemudian Dr. Zelly Nurachman memaparkan mengenai potensi cahaya matahari Indonesia yang sangat besar dan menanyakan mengenai kemungkinan aplikasi dari fotosistem dalam biologi diaplikasikan dalam peralatan fisis, misalnya dengan sel surya. Menanggapi hal ini, Prof. Huber mengemukakan bahwa Indonesia memang sangat beruntung memiliki potensi sinar matahari yang sangat melimpah, namun sebagai negara yang memiliki banyak hutan, menurutnya Indonesia lebih baik menumbuhkan banyak tanaman dan memanfaatkan energi dari tanaman baik untuk pangan maupun energi, sementara sel surya akan lebih pas jika ditempatkan pada lokasi-lokasi semacam padang pasir di Afrika Utara. "Ada aspek-aspek lain dalam menanam tumbuhan, seperti aspek sosial dan ekonomi," jelasnya, "Indonesia adalah negara hijau, jadi lebih baik menanam tumbuhan."

Pertanyaan terakhir disampaikan oleh Prof. Ismunandar yang menanyakan pernyataan Prof. Huber mengenai kompleksitas mekanisme protein folding, sehingga dibutuhkan Einstein lain dalam bidang biologi untuk memahaminya. Prof. Huber menjelaskan bahwa memang terdapat peningkatan dalam jumlah mekanisme protein folding yang berhasil diprediksikan dengan benar oleh para ilmuwan, namun dibandingkan dengan mekanisme yang tidak berhasil diprediksikan dengan benar, kemajuan-kemajuan ini merupakan kemajuan kecil (incremental). "Kita harus menyempurnakan metode-metodenya. Masih ada fakta-fakta dasar yang belum diperhitungkan, (juga) aspek-aspek yang belum kita ketahui saat ini," ujar Prof. Huber.

Kompleksitas ini, sebagaimana kalimat penutup dari moderator Dr. Rukman Hertadi, diharapkan dapat menginspirasi dan menyemangati para mahasiswa dan ilmuwan untuk menggenjot studi dan riset menjadi pencapaian berkelas dunia.

Memberi Banyak Inspirasi

Selain memberikan kuliah umum kepada civitas akademika ITB, Prof. Huber juga memberikan pidato dalam Sidang Penerimaan Mahasiswa Baru pada Selasa (02/08/11) dengan judul 'How did I Become a Scientist' serta kepada khalayak umum dengan judul 'Proteases and Their Regulation: Basic Science and Application in Medicine' dan kepada murid-murid dan guru SLTA dengan judul 'Beauty and Function of Proteins: The Building Blocks of Life' pada Rabu (03/08/11). Jadwal lengkapnya dapat dilihat di sini.

Sumber gambar di sini.