Peran Masyarakat dalam Praktik Pelestarian Rumah Majapahit di Trowulan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
Foto: Dok. Prof. Widjaja Martokusumo dan Catrini Pratihari
BANDUNG, itb.ac.id—ITB dikenal dengan kampus yang memiliki semangat berinovasi dan selalu mengembangkan penelitiannya. Dikenal dengan kampus teknik bukan berarti ITB selalu melakukan penelitian tentang teknologi. Seringkali ITB mengkolaborasikan penelitian ilmiah dengan budaya yang ada di masyarakat sekitar. Seperti halnya Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB yang telah mengembangkan inovasi dalam penelitian pelestarian cagar budaya terkait dengan perencanaan dan perancangan arsitektur, serta penyusunan kebijakan terkait.
Penelitian dilakukan oleh Mahasiswa Program Doktor Arsitektur ITB Catrini Pratihari Kubontubuh, di bawah bimbingan Prof. Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo selaku Ketua Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur. Catrini memilih kawasan ibu kota Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, untuk menjadi salah satu topik penelitiannya.
Trowulan adalah ibu kota Majapahit, kerajaan terbesar di Nusantara yang berdiri pada 1293. Trowulan terletak sekitar 50 kilometer barat daya dari Kota Surabaya, Jawa Timur. Sejak keruntuhan Majapahit pada tahun 1478, Kota Trowulan semakin terbengkalai. Saat ini, sebagian besar objek cagar budaya berada dalam kondisi tak utuh, bahkan ada yang masih terpendam di bawah lapisan tanah.
“Penduduk Trowulan saat ini merupakan pendatang yang sangat heterogen. Permintaan terhadap pelestarian kota sudah dilakukan, tetapi tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah. Bahkan seringkali pendapat mereka tidak didengarkan terkait kebijakan pemerintah terhadap kota ini. Hal ini membuat Catrini tertarik untuk melakukan penelitian di Trowulan. Rumah Majapahit yang menarik perhatiannya dan menjadi objek yang dia pilih dalam penelitiannya,” tulis Catrini dalam Rubrik Rekacipta ITB di Media Indonesia edisi 4 Januari 2022.
Penelitian ini bertujuan untuk pelestarian objek cagar budaya yang tidak utuh lagi, dan bahkan tidak ada wujudnya lagi di masa kini seperti halnya rumah-rumah dari masa Kerajaan Majapahit di abad ke-13 dan 14. Penelitian ini disebut juga Program Rumah Majapahit.
Program Rumah Majapahit diluncurkan pada 2014. Rekonstruksi rumah dari penelitian yang dimaksudkan bukanlah pembangunan sebuah rumah lengkap, melainkan hanya menambahkan fasad 'autentik' di depan rumah penduduk eksisting. Dalam program ini penduduk desa ditawari untuk membangun Rumah Majapahit berupa fasad dengan material kayu dan bata merah berukuran 5 x 4 meter persegi.
Program Rumah Majapahit diimplementasikan pada 596 unit rumah secara berkala dalam tiga gelombang yang keseluruhannya dibiayai oleh pemerintah provinsi dan kabupaten. Namun, kebijakan ini kurang mendapat respons baik dari warga. Bahkan di tahun 2017, rumah banyak yang kosong dan tidak dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Lebih parah lagi, ditemukan papan bertuliskan 'Dijual' atau 'Disewakan' di depan beberapa rumah.
Menyikapi hal ini diadakan Focus Group Discussion (FGD) yang pada 26 November-18 Desember 2017 dan didapatkan beberapa masukan dari peserta. Pertama, bujet yang terbatas dan kurangnya proses konsultasi selama pembangunan. Akibatnya, masyarakat tidak bisa melengkapi dengan toilet dan fasilitas yang diperlukan. Kedua, sebanyak 70 dari 100 peserta FGD menyatakan program dilaksanakan dengan sistem rop down. Sistem itu dinilai tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat soal desain dan apresiasi terhadap nilai-nilai budaya lokal atau dapat dibilang kurangnya perhatian autentisitas dan signifikansi budaya dalam praktik-praktik pelestarian Trowulan.
Ketidakberhasilan program itu juga dapat disebabkan kurangnya penanaman tiga konsekuensi penting dalam praktik pelestarian. Pertama, pelestarian menyangkut sebuah proses untuk megintegrasikan tiga komponen kunci, yaitu aspek fisik, signifikansi budaya, dan karakter masyarakat lokal. Kedua, perubahan dimungkinkan dalam pelestarian dan pelestarian tidak hanya masalah fisik semata, tetapi mencakup aktivitas dan fungsi objek tersebut, serta pengelolaan perubahan. Ketiga, pelestarian menjadi upaya untuk membentuk dan mengendalikan masa depan.
“Pemahaman terhadap nilai-nilai dan aspek nonfisik seperti halnya tradisi dan kearifan budaya setempat sangat diperlukan dalam praktik pelestarian. Pemahaman nilai-nilai budaya lokal dalam tradisi yang hidup merupakan semangat autentisitas. Sehingga keterkaitan dengan tempat dapat muncul dan menciptakan hubungan antara aspek nonfisik dan fisik yang selaras,” kata Catrini.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Catrini menyimpulkan bahwa pelestarian kawasan objek cagar budaya dapat tercapai dengan mengintegrasikan autentisitas dan nilai budaya. Kepedulian dan partisipasi masyarakat setempat juga menjadi kata kunci dalam keberhasilan praktik pelestarian. Dengan demikian, masyarakat setempat dengan ahlinya bisa bekerja bersama untuk mencapai hasil yang berkelanjutan.
Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)