Prof. Djoko T. Iskandar: Menjadi Saksi Keanekaragaman Indonesia

Oleh Mega Liani Putri

Editor Mega Liani Putri

BANDUNG, itb.ac.id – Prof. Djoko Tjahjono Iskandar adalah guru besar ITB dan merupakan herpetologis yang telah diakui dunia. Herpetologi adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari reptilia dan amfibia. Salah satu hasil penemuannya di hutan belantara Kalimantan yang mengejutkan dunia adalah keberadaan katak yang tidak berparu-paru. Dosen yang lahir di Bandung, 23 Agustus 1950, ini tercatat sebagai guru besar ITB paling produktif dalam publikasi jurnal ilmiah.

Awal Mula Ketertarikan Menggeluti Katak


Prof. Djoko menempuh studi program sarjana di ITB, yaitu angkatan 1970. Kemudian Beliau melanjutkan studi program pascasarjana (magister dan doktoral) di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, Perancis. Setelah menyelesaikan studi doktoral, Beliau pun kembali ke Indonesia dan memulai profesi beliau sebagai herpetologis. Beliau berujar, bahwa setelah kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1970-an, hanya ada 5 jurnal Indonesia yang membahas tentang eksistensi spesies katak. Hal ini membuatnya miris padahal Indonesia memiliki biodiversitas paling besar di dunia.


Ketertarikan Beliau terhadap katak dimulai dengan keinginan beliau meneliti binatang yang bisa ditemui di sekitar rumah. Beliau pun pada akhirnya memperhatikan katak dan tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Membuktikan kegigihannya dalam menggeluti profesinya sebagai peneliti, Beliau pun melakukan ekspedisi, masuk-keluar hutan, untuk menemukan eksistensi spesies katak. Selama 40 tahun 26Hirsch inde  belakang, tak terhitung lagi ekspedisi yang telah ia lakukan, bekerja sama dengan peneliti Indonesia maupun asing.


Dengan kerendahan hatinya, Beliau menyebutkan bidang yang ia geluti ini memang diberkahi oleh Tuhan YME hingga bisa ditemukan spesies-spesies langka yang menggegerkan dunia. Hingga kini ada 6 jenis spesies yang mencantumkan nama Prof. Djoko sebagai penghargaan terhadap kontribusi Beliau dalam dunia herpetologi, yakni menemukan 20 spesies katak, 11 spesies kadal, dan 2 spesies ular. Publikasi Beliau pun membuat dunia mengenalnya sehingga banyak pihak asing yang kemudian mengajak Beliau bekerja sama.


Pengalaman di Lapangan hingga Telah Disitasi Hampir 2800 Kali


Prof. Djoko adalah sosok akademisi yang sangat produktif mempublikasikan hasil penelitiannya. Webometrics melansir bahwa Prof. Djoko menempati peringkat ke-19 dari seluruh peneliti di Indonesia dalam publikasi jurnal, dengan rincian Hirsch Index 26 dan jumlah sitasi hingga hampir 2800 kali (http://www.webometrics.info/en/node/96). Topik publikasi ilmiah Beliau berkisar tentang evolusi, sistematik, ekologi, biogeografi, dan konservasi herpetofauna. Selain jurnal ilmiah, Beliau pun telah menerbitkan buku berjudul “Amfibi Jawa dan Bali”.


Selama berekspedisi, Prof. Djoko belajar banyak hal dari alam maupun penduduk di daerah. Beliau mengaku tidak hanya mengamati berbagai keanekaragaman satwa, namun juga senang melihat beragamnya budaya di Indonesia. Setiap berkunjung ke daerah, Beliau mendapatkan perspektif baru tentang problematika masyarakat. Dalam hal meneliti katak, tentu banyak hikmah yang telah Beliau dapatkan. “Saya melihat proses-proses biologis yang bekerja. Jadi, bukan organismenya itu sendiri, tetapi proses dan konsep. Mungkin, cara berpikir saya bisa jadi mundur ke zaman purbakala, sekian juta tahun lalu, ataupun futuristik ke depan, bagaimana mengaitkan biologi dan geologi dan proses-proses yang lain. Itu yang kemudian berputar di otak saya,” ungkap Prof. Djoko.


Memasuki usianya yang menginjak usia 67 tahun, Prof. Djoko tetap menyibukkan diri dengan aktivitas mengajar di Sekolah Teknologi dan Ilmu Hayati (SITH) ITB. Tentunya, Beliau masih terus aktif meneliti dan menulis. Aktivitas terjun ke lapangan sudah Beliau kurangi, namun semangat Beliau dalam penelitian tidak berhenti. “Hasil ekspedisi selama 40 tahun telah menumpuk. Sekarang saya terus menulis, meneliti, menulis,” ujarnya.


Prof. Djoko pun menuturkan, “Kalau Anda pemula, Anda pasti mencari yang unik-unik. Tetapi justru setelah kerja, yang paling umum-lah yang menyembunyikan hal-hal yang menarik. Setelah bekerja banyak, mengumpulkan informasi banyak, pada akhirnya semua menjadi menarik, yang seringkali tidak disadari orang.”


Untuk Generasi Mendatang


Prof. Djoko memiliki harapan untuk generasi mendatang agar menjadi penerus dalam menemukan identitas Indonesia, yaitu keanekaragaman hayati yang negara ini miliki. “Nomor satu, yang selalu saya tekankan adalah, bekerjalah dengan keanekaragaman Indonesia. Kita punya kekayaan alam begitu banyak. Ada 100 orang seperti saya pun tidak akan menyelesaikan problema katak saja. Jadi, saya senang kalau banyak orang (turut serta) jadi ilmunya cepat berkembang. Saya itu kan merangkak dari bawah. Kalau saya publikasi, salah satu harapan saya adalah nanti generasi mendatang jangan merangkak seperti saya lah. Sekarang teknologi sudah maju, saya beri dasarnya semua jadi mereka harus bisa lebih bagus dari saya,” ungkapnya.


Reporter: Mega Liani Putri (Teknik Lingkungan 2013)
Sumber foto: sith.itb.ac.id