Pak Djoko: Memperbaiki Komunikasi dalam Masyarakat Akademik ITB

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Berdialog dengan Pak Djoko Santoso, Rektor ITB periode 2005-2010, memberikan kesan tersendiri. Nada bicara beliau yang santun, bahasa yang runtut, serta jawaban-jawaban yang mengalir lancar menunjukkan bahwa intelektual ini memang paham benar mengenai ITB dan memiliki pemikiran-pemikiran ke depan yang dapat mengembangkan ITB. Menjadi Rektor sebuah perguruan tinggi sekelas ITB tidak bukanlah sesuatu yang mudah. Kewajiban dan tugas yang menumpuk diakui oleh Pak Djoko apalagi, ITB adalah sebuah komunitas akademik yang menjadi source of value dan juga menjadi tolok ukur kemajuan bangsa. Bagaimanapun sulitnya, menjadi bagian dari masyarakat akademis, tepatnya staff pengajar, memang merupakan pilihan Pak Djoko Santoso. ”Cita-cita saya jadi guru,” ujar Pak Djoko ”Saya memang ingin jadi profesor.” Karir dan prestasi Rektor yang meraih gelar profesor saat usianya masih 44 tahun ini memang patut dibanggakan. Daftar publikasi dan penelitian beliau panjang. Pak Djoko juga salah satu pendiri Departemen Teknik Geofisika ITB. Jabatan terakhir yang diemban beliau adalah sebagai ketua Senat Akademik. Pengalamannya menjadi bagian dari masyarakat akademik ITB, terutama saat memegang peranan-peranan yang penting, membuat beliau paham mengenai ITB dan banyak memiliki pemikiran yang bisa memperbaiki kekurangan ITB. ”Tentunya di kepala saya ada banyak ide tentang bagaimana mengembangkan suatu masyarakat akademik,” ungkap Pak Djoko, ”Ide itu saya coba laksanakan: bagaimana menegakkan itegritas akademik, bagaimana budaya akademik harus jadi.” Semua ide-ide ini sudah dirangkum dalam makalah singkat berjudul ’ITB antara Kesempatan, Tantangan, dan Harapan’, yang beliau ajukan saat mencalonkan diri sebagai Rektor ITB 2005-2010. Ide-ide beliau memang sudah dicoba untuk diimplementasikan dan dikembangkan setiap saat, terutama saat beliau memegang jabatan di ITB. Namun, sampai jabatan terakhirnya sebagai ketua senat, beliau merasa bahwa ide-ide beliau itu tidak segera terimplementasikan. ”Saya pernah mencoba mengambil inisiatif. Saya pernah mengumpulkan ketua MGB, MWA, rektor kita duduk bersama2,” cerita Pak Djoko, ”Saya punya ide. Mari kita jalan sama2. Tapi kok gak jalan-jalan juga (ide itu –red.).” Menurut Pak Djoko, akar permasalahannya adalah komunikasi yang buruk. Saat itu, beliau juga menyadari bahwa, secara individu, beliau tidak cukup memiliki ’amunisi’ (begitu beliau mengistilahkan) jika hanya sebagai ketua senat. Itulah sebabnya Pak Djoko termotivasi untuk menjadi Rektor ITB. ”Harapannya saya bisa mewujudkan apa yang ada di kepala saya.” KOMUNIKASI Bagi beliau, ITB memiliki dua kekuatan utama yaitu pada nama besarnya yang sudah dirintis berpuluh-puluh tahun serta pada individu-individu masyarakat akademik ITB itu sendiri. Namun, dua kekuatan ini menjadi tidak maksimal karena sebuah kelemahan yang cukup fatal. Di ITB, menurut pak Djoko, belum terjadi sinergi yang baik dari setiap individu masyarakat ITB. “Saya sendiri, setelah menganalisis, melihat bahwa kelemahannya itu adalah komunikasinya belum baik antar berbagai individu maupun berbagai unit di ITB,” ujar beliau, “Itulah (komunikasi -red.) sentral yang akan saya perbaiki sehingga ke depan, sehingga ITB menghasilkan karya-karya yang bermakna untuk bangsa maupun ilmu pengetahuan.” Komunikasi bukan masalah yang sederhana. Jeleknya komunikasi menjadi akar permasalahan yang melahirkan masalah-masalah baru dalam masyarakat ITB. Dalam unit-unit kerja di ITB sering muncul masalah kinerja yang tidak efektif dan juga muncul budaya senioritas dan sungkan. Ini bisa menjadi sesuatu yang negatif karena saat ada individu yang berbuat salah, tidak ada yang menegur dirinya hanya karena dia lebih senior –sungkan. Pak Djoko juga menyadari permasalahan ini. Baginya kunci penyelesainannya adalah –lagi-lagi- komunikasi. ”Bagaimana berkata kepada Bapak yang lebih senior dari kita bahwasanya ini tidak benar, pak. Bagaimana kita mengatakan kpd beliau bahwa seharusnya begini pak. Itulah yang dinamakan komunikasi. (Selain itu,) komunikasi gak hanya omong,” tandas beliau, ”Memang susah!” Bagi beliau ITB harus ’berbudaya akademik’. Artinya, apapun yg kita lakukan ada alasannya, strukturnya jelas; benar-benar mencerminkan bahwa ITB adalah sebuah masyarakat intelektual akademik. Membangun komunikasi memang bukan hal yang mudah. ”Ya, kita coba!” seru beliau. Menurut Pak Djoko, membangun komunikasi itu semacam gerakan moral. ”Gerakan moral itu Anda mulai dari lingkaran kecil dulu. Nanti otomatis gaungnya akan menyebar sendiri.” Untuk menjalankan gerakan moral yang penyebarannya semacam itu, harus memiliki satu syarat, yaitu konsistensi. ”Kalo tidak konsisten nanti tau2: ’lho kok yg dulu itu kok sudah hilang lagi ya’.” ’Lingkaran-lingkaran kecil’ ini harus diinisiasi di setiap lingkungan kelompok-kelompok kecil masyarakat ITB; misalnya, di senat, di lingkungan saya, saat pihak eksekutif berkomunikasi dengan mahasiswa. Kemudian, Pak Djoko juga mencontohkan respon Anas Hanafiah, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB. ”Lihat saja tulisan yang dikeluarkan Anas. Bukan lagi menyalahkan. Tapi berupa analisis.” Baginya, berbeda pendapat itu wajar. Kritikan dalam tulisan mungkin tidak anda sukai. Tapi, yang penting itu walau berbeda pendapat, ’roh akademik’ ITB itu harus tetap ada. Wujudnya, kalau kritikannya tidak bernada emosional, santun, analisisnya runtut, dsb. ”Itu artinya komunikasinya udah jalan,” seru Pak Djoko, ”Roh akademik (ITB) sudah kembali!” SOURCE OF VALUE Salah satu target Pak Djoko ke depan adalah mengembalikan ITB sebagai ‘source of value’. Sebenarnya, memang bukan berarti ‘value’ ITB turun. “Valuenya sendiri tidak turun,” tandas Pak Djoko, “Tapi value-nya ini agak terlupakan.” Penyebabnya bisa banyak hal. Bisa jadi keadaan sosial dalam kampus atau masyarakat Indonesia. Bisa jadi pula keadaan ekonomi dalam kampus atau masyarakat. “Misalnya demokrasi yang berlebih. Norma bahkan juga bisa hilang karena terlalu bebas.” Mengenai pengaruh eksternal -dari luar ITB- memang telah diakui oleh Pak Djoko akan mempengaruhi ITB, terutama dari segi ekonomi. Pendapatnya ini dapat dilihat dalam paper beliau saat mencalonkan diri menjadi rektor. ”Dari segi ekonomi, Anda lihat sendiri bagaimana glamornya dunia saat ini. Sedemikian rupa sehingga kalau sebagai manusia biasa, dalam menghadapi dunia yang glamor itu, kita bisa langsung ikut keglamoran itu tanpa memperhatikan norma yang harusnya tetap dipegang, ” ujar Pak Djoko. Untuk menghalau pengabaian norma semacam itu, harus selalu diingatkan bahwa ITB adalah institusi akademik, yaitu institusi yang menganut kepada norma-norma yg berlaku secara universal. ”Ini jgn dilanggar dgn alasan apapun!” kata beliau, ”karena melanggar norma berarti melanggar integritas kita. Hal itu harus dikomunikasikan tiap kali. Artinya dalam setiap interaksi dalam masyarakat ITB, harus disadarkan prinsip itu, bahwa ITB adalah institusi akademik, dalam rapat dosen, di kelas, di manapun. MEMANDANG LULUSAN ITB Sebenarnya, masalah komunikasi ini dapat juga dideteksi dalam diri lulusan ITB. Tidak dapat dipungkiri bahwa ITB telah menghasilkan tak terhitung individu-individu yang mandiri dan patut dibanggakan. Namun Pak Djoko masih melihat bahwa banyak lulusan ITB yang ’kelewat mandiri’. Maksudnya, terlalu individualis, tidak dapat bekerja dalam kelompok. ”Komunikasi dengan temannya buruk,” ujar beliau. Bagi Pak Djoko, kemandirian atau individualisme itu tidak ada masalah asal tiap lulusan ITB harus tetap mampu melihat konteks dan lingkungan sekitar dia. ”Dia (lulusan ITB –red.) harus tahu dia ada di dalam sistem mana. Dalam (lingkungan) dia harus berpendapat sendiri, ya berbendapat sendiri; dalam dia harus berpendapat dalam kelompok ya dia harus berpendapat dalam kelompok; dari kelompok kecil sampai kelompok besar. Dan, nanti sesudah pendapat ada, ya semua harus konsisten dgn pendapat itu. Ini yang susah...” Pak Djoko melihat bahwa sebenarnya kesulitan lulusan ITB dalam berkomunikasi berakar dari lingkungan pendidikan di ITB sendiri. ”Begini, kalo kita liat pendidikan kita (ITB –red.) bahwasanya sering dosennya itu memberi contoh itu seenaknya sendiri,” kata beliau. Pak Djoko, lalu, mencontohkan dosen yang mengajar tidak sesuai dengan yang seharusnya dia lakukan: tidak masuk kuliah, terlambat. ”Ini kan petunjuk bahwa dia seenaknya sendiri,” ujar Pak Djoko ”Bawah sadarnya mahasiswa meniru dia (dosen itu): wah enak ya nanti kalo sudah selesai dari ITB, seenaknya kayak dia.” Kondisi semacam itulah yang terjadi di ITB. Solusinya, seharusnya ada komitmen dari semua pihak. Baik dari anak didik maupun dari pihak pengajar. Terutama dari pihak pengajar, jika semua komitmen dilakukan dengan baik mahasiswa akan mengikuti komitmen itu dengan baik juga. ”Ini yang harus kita perbaiki sama-sama, kedua belah pihak.” MENTAL MODEL DAN PERAN MAHASISWA Dalam makalah yang dia sampaikan saat mencalonkan diri menjadi rektor, Pak Djoko mengusung ide mengenai ’mental model’. Yang beliau maksud dengan model di sini adalah institutnya –ITB sendiri. Semua pihak yang ada dalam ITB menyesuaikan dengan ’model’ ini. Dalam konsep model ini, harus disadari bahwa ’core’ dari ITB iadalah mutu akademik. Maka, yang harus dilakukan muaranya harusnya adalah mutu akademik. Pak Djoko juga menganalogikan perguruan tinggi sebagai ’bis umum.’ Sopirnya adalah rektor itu sendiri; kondekturnya itu staf pengajar; lalu, ada yg pembantu-pembantu lainnya sebagai staff tata usaha, misalnya. ”Si mahasiswa (penumpang) itu hanya menumpang terus turun lagi.” Jadi, sebenarnya si kondektur (staff ITB) itulah yang perlu memahami benar siapa sopir bis itu, memiliki SIM atau tidak, bisa mengemudikan bis dengan baik atau tidak. Intinya, bagi beliau, mahasiswa punya peran yang lebih penting yaitu kesinambungan ilmu pengetahuan. ”Begitu dia turun, dia membawa pengalamannya selama di bis itu ke tempat lain. Kadang-kadang dia bawa ke tempat lain dan dia kembangkan,” ungkap Pak Djoko, ”Nah, dia malah lagi bikin bis yang lain.” Bagi beliau, ilmu itu memang direkam di kertas atau media lain, tapi tetaplah manusia, yaitu mahasiswa itu yang akan mengembangkan ilmu itu. KESEJAHTERAAN Inti permasalahan di ITB adalah komunikasi. Hal ini membuat kekuatan-kekuatan ITB menjadi tidak sinergis. Tapi, usaha Rektor baru ini bukan hanya semata-mata komunikasi saja. Agar sinerginya baik, harus diberi ’amunisi’ juga –begitu istilah beliau. Yang dimaksud dengan ’amunisi’ ini adalah ’kesejahteraan’. Harapan bahwa masyarakat internal ITB mendambakan juga memperoleh kesejahteraan di dalam ITB diakui oleh beliau. Ini juga terungkap dalam paper beliau saat mencalonkan diri sebagai rektor. ”(masyarakat ITB) Harus diopeni,” ujar Pak Djoko ”Kalo tidak, nanti (mereka) cari makan ke mana-mana.” WAJAR DULU SAJA Terhadap mahasiswa ITB, nasehat Rektor baru ini tampak sederhana: ’jadilah mahasiswa yang wajar.’ Unik memang himbauan Pak Djoko, namun, sebenarnya frase ’mahasiswa yang wajar’ di sini belum menjadi sifat mahasiswa ITB kebanyakan. Kata 'wajar' memang terdengar sederhana namun tidak bisa diremehkan karena Pak Djoko yakin kalau ’wajar’ ini dilaksanakan secara konsisten, akan dicapai yang dinamakan ’excellent’. Menjadi mahasiswa yang wajar. Artinya, dia mau belajar, dia mau berkreasi, dia mau berinovasi, tau norma apa yang harus dipegang, tidak melanggar apa yang tidak boleh dilanggar. Mahasiswa yang belajr per minggunya 60 jam (20 sks X 3 jam) bukan berarti mahasiswa teladan. Itu namanya mahasiswa yang wajar. Mahasiswa teladan mungkin belajar sampai 100 jam per minggu. Mahasiswa yang lulus empat tahun bukan mahasiswa yang hebat. Itu namanya mahasiswa yang wajar. ”Sebetulnya yang orang katakan wajar itu di bawah wajar,” kata Pak Djoko, ”Saya ingin mendudukan pokok2 dari yang sebenarnya kepada apa yang ada.” Jadi, tidak harus bevisi yang hebat dan teladan, coba dulu mencapai tahap ’mahasiswa yang wajar’. krisna murti 4/2/05 11.34 pm