ITB Menganugerahkan Gelar Profesor Emeritus untuk Prof. Djoko T. Iskandar

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

BANDUNG, itb.ac.id — Institut Teknologi Bandung (ITB) menganugerahkan Prof. Dr. Djoko Tjahjono Iskandar dari Kelompok Keahlian Ekologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (SITH ITB), gelar Profesor Emeritus atas perannya yang masih aktif dan berperan penting dalam pembelajaran dan penelitian di bidanganya. Hal itu juga berkaitan dengan capaian akademik yang gemilang, konsistensi pembelajaran, dan keteladanan dari beliau. Gelar tersebut merupakan apresiasi tertinggi dan pengakuan terhadap darmabakti beliau selama 45 tahun. Upacara penganugerahan gelar Profesor Emeritus ITB dilaksanakan di Gedung CRCS ITB, Rabu (13/12/2023).

Ilmu pengetahuan mengenai amfibi dan reptil di Indonesia telah terhenti sejak awal abad ke-19. Prof. Djoko melihatnya sebagai kesempatan emas untuk diteliti lebih dalam. Beliau berhasil menemukan dan merumuskan jenis herpetofauna baru. Herpetofauna merupakan jenis hewan melata berupa jenis amfibi dan reptil. “Jumlah spesies yang teridentifikasi saat ini tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan ketika saya mulai bekerja. Keberagaman dan keberadaan amfibi di suatu wilayah menjadi penting karena sensitivitas mereka tinggi terhadap kerusakan lingkungan dan sangat baik digunakan sebagai bioindikator,” ujarnya.

Beberapa penemuan Prof. Djoko memberikan kesadaran tentang kekayaan hayati Indonesia yang melimpah. Prof. Djoko mengidentifikasi temuan katak baru dari Kalimantan di tahun 1978. Penemuan itu cukup spektakuler karena memiliki kesamaan ciri dengan katak Eropa-Asia, padahal lazimnya katak di Indonesia bertipe Asia Tenggara.

Pada tahun 2000, Prof. Djoko menemukan Oreophyrne minuta di hulu Sungai Derewo, Papua Barat, yang dinobatkan sebagai spesies katak terkecil di dunia. Ukuran tubuhnya hanya sebesar biji kacang tanah, sekitar 9,5 mm. Selain itu, beliau menemukan satu-satunya katak di dunia yang tidak memiliki paru-paru di tahun 2008 dan satu-satunya katak di dunia yang melahirkan kecebong dari Sulawesi pada tahun 2014.

   

Secara keseluruhan, Prof. Djoko sukses menemukan dan mendeskripsikan dua genus amfibi, 27 spesies amfibi, dan 17 spesies reptil baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Beliau mencurahkan hasil penelitiannya dalam 110 jurnal internasional dan 50 karya ilmiah nasional yang memiliki reputasi. Sebanyak 15 buku di bidang biologi, konservasi, maupun herpetofauna berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Memasuki masa purnabakti, tidak menyurutkan Prof. Djoko untuk mendedikasikan tenaga dan pikirannya. Hal ini ditunjukkan dengan publikasi 22 jurnal internasional yang dirampungkan setelah beliau pensiun. Makalahnya menjadi rujukan ilmuwan lainnya dengan indeks sitasi yang tinggi, meskipun pada umumnya penelitian yang dilakoni tidak dibiayai oleh negara.

“Suatu kehormatan bagi saya untuk menerima penghargaan ini. Selama saya meniti karier, sulit sekali mendapat suntikan dana karena keilmuan yang digeluti masih dianggap sebelah mata. Tapi, tekad saya untuk melakukan penelitian sudah bulat. Saya harus terus menulis, melakukan publikasi sebaik-baiknya, dan mencantumkan data selengkap mungkin,” ujar Prof. Djoko.

Ketekunan itu membuatnya dilirik oleh International Union for Conservation Nature (IUCN). Peneliti dari luar negeri mulai menghubunginya dan mengajak untuk kolaborasi. “Kerja sama dengan pihak internasional adalah gerbong yang akan membawa kita ke ranah internasional. Kita harus outsourcing karena ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat,” tuturnya.

Prof. Djoko yang telah mendalami keberagaman hayati vertebrata Indonesia dalam kurun waktu 45 tahun, menyelesaikan pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung, dan menamatkan jenjang S2 sampai S3 di Université des Sciences et Techniques du Languedoc, Montpellier, Prancis.

Ke depannya, beliau menargetkan pembukuan informasi mendasar mengenai vertebrata Indonesia, khususnya Wallacea. Selain itu, Prof. Djoko ingin menyelesaikan penulisan autobiografi, melakukan publikasi herpetofauna Sundaland dan Wallacea, dan menggarap buku tentang evolusi bagi masyarakat luas.

Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)

Editor: M. Naufal Hafizh