Prof. Hendriatiningsih, Guru Besar Geodesi Perempuan Pertama di Indonesia menuju Purnabakti

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Setiap pertemuan punya perpisahan. Setiap perpisahan meninggalkan kenangan yang membekas. Hal ini juga dirasakan keluarga besar Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung (ITB) ketika melepas Prof. Dr. Ir. S. Hendriatiningsih, M.S. menuju purnabakti.

FITB ITB, Ikatan Ahli Geodesi ITB, dan Kelompok Keilmuan Survei dan Kadaster Teknik Geodesi dan Geomatika ITB bekerja sama memberikan persembahan spesial kepada Guru Besar yang kerap dipanggil Bu Ning dalam rangkaian acara sharing session pada Senin (9/8/2021). Ketua Ikatan Alumni Geodesi ITB Viviani Suhar (GD’92) memandu jalannya acara sebagai moderator.

Acara sharing session bertajuk “Perjalanan Srikandi Geodesi menjadi Guru Besar Wanita Pertama dalam Bidang Survey Rekayasa di Indonesia” juga menghadirkan sepuluh srikandi geodesi yang mewakili lima dekade perempuan geodesi dari 1975—2011. Melalui platform Zoom dan disiarkan di kanal YouTube IAGD ITB, acara berlangsung hangat karena dihadiri rekan Bu Ning dan alumni Teknik Geodesi dan Geomatika dari berbagai era.

Pada kesempatan ini, Bu Ning menceritakan perjalanannya menjadi guru besar perempuan geodesi di Indonesia. Berawal dari masuk geodesi karena tidak ingin bertemu kimia dan gagal mendaftar Teknik Sipil ITB pada tahun pertama pendaftaran, menjadikan perempuan yang terkenal teliti itu menjalani apa yang didapat dengan penuh tanggung jawab.

Semasa pendidikan sarjananya, Bu Ning memutuskan untuk menekuni kelompok keahlian kadaster dengan alasan mata kuliah yang berkaitan lulus semua. Lulus S1 dengan menjadi PNS kemudian tidak menyurutkan dia untuk melanjutkan pendidikan. Bu Ning memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di S2 Fotogrametri dan S3 Geodesi.

“Apa yang kita inginkan belum tentu kita bisa capai, tetapi apa yang ada di depan kita harus kita jalankan sebaik dan semaksimal mungkin,” ujar Bu Ning.
Hingga sampai di titik menuju purnabakti, Bu Ning mencoba meraih pencapain lain, yakni menjadi guru besar. Proses yang panjang penuh liku-liku dan rumitnya peraturan yang berubah-ubah berhasil dia lewati hingga sampai titik ini. “Asal tekun semua bisa dilakukan,” ungkap perempuan yang hobi menanam bunga ini.

Kesepuluh srikandi tadi merupakan perempuan tangguh penerus Bu Ning. Mereka diberi kesempatan untuk berbagi cerita tentang karier. Kesepuluh srikandi juga menceritakan peran Bu Ning dalam membantu karier mereka saat ini. Sepuluh srikandi ini adalah Elly Rasdiani (GD’76), Ida Kusuma W. (GD’76), Detty Maulina (GD’83), Fitriyani Hasibuan (GD’86), Dian Afriyanie (GD’94), Astrit Rimayanti (GD’97), Nuraini Rahma H. (GD’00), Alfita Puspa H. (GD’03), Regina Maria H. (GD’10), dan Evarina Engelina (GD’11).

Sepuluh srikandi juga mendapat waktu untuk mengenang Bu Ning. Mereka mengaku telah mengambil manfaat selama menjadi anak didiknya. Salah satunya diungkapkan oleh Dian Afriyanie (GD’94). Peneliti perubahan iklim dan kebencanaan Lokahita itu mengatakan bahwa terdapat empat nilai yang dia ambil dari Bu Ning, di antaranya: persevarance and grit (tekun dan gigih), adaptive capacity (mampu beradaptasi di berbagai lingkungan), expanding the horizon and networking (memperluas wawasan dan berjejaring dengan pihak yang tepat), dan kebermanfaatan.

Sementara itu, Alfita Puspa H. (GD’03) teringat dengan kutipan Bu Ning yang mengatakan bahwa perempuan selalu menjadi fondasi terkuat dalam kondisi apa pun. Berkat kutipan itu, Alfita terinspirasi untuk menginisiasi penelitian tentang pemberdayaan perempuan di lahan dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat.
Hingga masa mendatang sosok Bu Ning akan terus menginspirasi sepuluh srikandi. Bahkan, bisa jadi menginspirasi lebih banyak orang. Meski Bu Ning purnabakti, jasanya terkenang selamanya.

Reporter : Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi, 2019)