Prof. Lawrence Vale: Pembangunan Ibu Kota Negara Baru Harus Peduli terhadap Ketahanan Iklim
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Lawrence Vale, profesor Urban Design and Planning, Massachusetts Institute of Technology menjadi pembicara dalam MIT-ITB Research Partnership dalam bahasan global perspectives and key issues on National Capital City Relocation and Resilience, Selasa (28/9/2021). Menurutnya, dalam membangun permukiman perkotaan yang tangguh terhadap iklim, perlu memperhatikan semua keterampilan desain dalam pengembangan kota secara holistik.
Berbagai preseden pembangunan ibu kota baru dari seluruh dunia beliau paparkan, seperti Washington DC, Brasilia, Abuja, Putrajaya dan lainnya. Berbagai alasan melatarbelakangi pemindahan ibu kota di dunia, seperti keamanan, ekonomi, kapitalisasi, dan tekanan politik. Beliau menyoroti kurangnya pendekatan resiliensi iklim dalam perancangan ibu kota negara oleh pemerintah.
Prof. Vale mengobservasi kondisi Indonesia yang sedang mulai mengadministrasikan IKN secara eksekutif dan yudikatif lewat berbagai fasilitas yang mulai dibangun, seperti kereta api ke bandara. Terdapat kemiripan antaran IKN dan Putrajaya, sebuah kota di Malaysia. Kedua kota ini sama-sama dikembangkan dari hutan.
Menurutnya, dengan asal ini, terdapat pelajaran penting yang dapat dilaksanakan sebagai upaya tanggung jawab terhadap lingkungan kawasan IKN yang sedikit banyak akan berubah. Dibutuhkan pertimbangan perancangan dan analisis politik yang serius terkait ini. Upaya yang dilakukan di masa lalu dalam merancang dan mengembangkan kawasan sering kali menjadi kunci dimensi.
Beliau memaparkan empat prinsip untuk mencapai proses perencanaan dan pembangunan kawasan yang adil dan peduli terhadap ketahanan iklim, yaitu fokus terhadap desain lingkungan kota untuk menghindari terlewatinya daya dukung lahan, dukungan terhadap struktur masyarakat, perlu pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan penjaminan keamanan serta pendekatan kota yang adil dan legal. Di sisi lain, program yang dikembangkan dalam IKN harus mempertahankan desain dan perencanaan lingkungan yang eco-friendly.
Dia melanjutkan, urgensi pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan pihak yang dapat mengintervensi sangat dibutuhkan dalam menjaga kawasan lindung, termasuk ruang terbuka hijau, sekaligus memberikan rasa keamanan bagi masyarakat yang kelak tinggal di IKN. Di sisi lain, dibutuhkan solidaritas kolektif antarmasyarkat. Basis masyarakat informal juga perlu dipertimbangkan dalam perencanaan Ibu Kota Negara ini, mengingat kota dengan aspek informalitas masih menjadi tugas besar untuk diselesaikan di wilayah lain.
Sustainability ‘ketahanan’ kota yang adil berkaitan dengan upaya pemerintah mengatur area dan manusia yang ada di dalamnya. Rancangan ibu kota seharusnya dibuat lebih holistik dengan fokus terhadap alokasi fasilitas utama pemerintah nasional di zona tertentu.
“Kita perlu mempertimbangkan kota secara holistik menggunakan empati sehingga manfaat pembangunan dapat dirasakan secara adil. Kita juga perlu merefleksikan identitas profesional kita, sebagai mahasiswa, profesor, ataupun pejabat dalam penekanan isu climate sustainability dalam perencanaan kota dengan mengurangi kerentanan lingkungan dan menghasilkan ruang publik yang berkualitas dan partisipatif,” papar Prof. Vale.
Reporter: Mirmanti Cinahya Winursita (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2019)