Prof. Peter Carey: Belajar Mencintai Sejarah Lewat Kisah Pangeran Diponegoro

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id—Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November, ITB menyelenggarakan Studium Generale (KU-4078) yang menghadirkan Sejarawan Prof. Peter Carey dengan tema “Menghargai dan Mencintai Sejarah Lewat Kisah Pangeran Diponegoro” secara daring dan siaran langsung di YouTube, Rabu (11/11/2020).

Acara tersebut dimoderatori langsung oleh Sekretaris Institut ITB Prof. Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo. ”Pemilihan tema Pangeran Diponegoro juga bertepatan pada hari lahirnya beliau yaitu 11 November 1785,” ungkapnya.

Prof. Peter Carey membuka Studium Generale dengan pengalamannya meneliti sejarah Indonesia “The Challenge of Writing History in Indonesia: A Personal Reflection on 46 Years Researching Indonesian History”. Ia mulai mengenal Indonesia semenjak belajar di Cornell University setelah sebelumnya banyak belajar sejarah Eropa di Oxford University.

Ada begitu banyak dampak yang ditimbulkan dari penjajahan bagi tanah Jawa mulai dari budaya berbusana, interior, menjamu tamu dengan minuman anggur, sampai pada sistem kemiliteran. “Sejarawan tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari lukisan-lukisan dan tentara pada zaman dahulu juga dilatih untuk bisa menggambar,” ucap Prof. Peter Carey.

Memulai perjalanannya di Indonesia pada tahun 1970-an, Prof. Peter Carey tinggal di Jl. Tanah Abang I. Setiap hari ia mencari dan mengumpulkan berbagai arsip dari Gedung Arsip (ANRI) Jl. Gajahmada selama 18 bulan. “Pangeran Diponegoro membuat sendiri autobiografinya, didikte, dan ditulis oleh juru tulis sebanyak 1.152 halaman menggunakan tulisan pegon yang selanjutnya dikenal dengan Babad Diponegoro sekaligus autobiografi pertama di Indonesia,” kata profesor lulusan Oxford University tersebut.

Pada sesi tanya jawab, Prof. Reini Wirahadikusumah, Ph.D., selaku Rektor ITB menanyakan beberapa hal mengenai “Stereotip orang Indonesia dan apakah masih ada semangat Diponegoro dalam diri orang Indonesia?”.

Prof. Peter Carey menjawab bahwa stereotip orang Indonesia terkhusus orang pulau Jawa yang terkenal lembut sebenarnya tidak sepenuhnya benar dan hal ini dibuat-buat oleh pihak Belanda, buktinya Pangeran Dipenogoro berjuang lima tahun bergerilya masuk-keluar hutan yang berarti adanya perjuangan yang sangat keras terhadap para penjajah dan semangat juang Diponegoro terus mengalir pada orang Indonesia sebagai contohnya kakak dari Kartini, Sosrokartono yang menguasai 27 bahasa.

“Saya yakin setiap bangsa memiliki kelebihan termasuk Indonesia yang sangat memahami alam dan zaman sebagaimana Tsunami Aceh, terdapat sebuah pulau kecil yang memiliki 87 ribu penduduk namun hanya tujuh penduduk yang meninggal dengan waktu 15 menit dari episentrum,” lanjut Prof. Peter Carey.

Reporter: Ahyar (Teknik Metalurgi, 2018)