Prof. Rukmini Bhaya Nair Sampaikan Model Perguruan Tinggi Abad ke-21 dalam Distinguished Lecture Series FGB ITB
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Forum Guru Besar ITB mengadakan Distinguished Lecture Series berjudul “Five Visions of A 21st Century University” pada Rabu (30/11/2022). Acara ini menghadirkan Prof. Rukmini Bhaya Nair sebagai pembicara yang aktif di bidang kemanusiaan dan sains sosial. Beliau merupakan profesor kehormatan dari Indian Institute of Technology sekaligus Queen Mary University of London.
Prof. Rukmini membuka pemaparannya dengan memberikan contoh pandangan pendidikan dan kemasyarakatan dari dua tokoh berpengaruh yaitu Jawaharlal Nehru dan B.J. Habibie. Menurut keduanya, pendidikan dan teknologi tidak hanya tentang ilmu dan teori, namun wujud aslinya lebih mengacu pada perubahan yang dibawa pada masyarakat secara lokal maupun global.
Pendidikan tinggi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengetahuan itu sendiri semakin mengalami birokratisasi. Fenomena ini menyebabkan penyempitan konsep tentang pengetahuan yang menghambat proses transfer dan diseminasi pengetahuan secara luas dalam kehidupan manusia di dalamnya.
“Pendidikan tinggi bukan hanya sekadar tempat untuk melakukan riset atau tempat diskusi tentang isu etik dan moral. Namun pendidikan tinggi harus mampu menjadi tempat diseminasi pengetahuan yang lebih luas,” ujar Prof. Rukmini.
Untuk memahami perguruan tinggi dalam perspektif yang lebih luas, beliau membaginya dalam lima model. Model dasar dalam hal ini memandang perguruan tinggi sebagai keseluruhan komunitas yang saling memberi dan menerima pengetahuan. Model ini menjadikan perguruan tinggi semakin tidak relevan dengan realita yang ada mengingat manusia di dalamnya hanya sebagai aktor pasif yang dikendalikan pengetahuan.
Pemahaman tentang perguruan tinggi kemudian berkembang menjadi model yang pertama yaitu perguruan tinggi sebagai sebuah institut. Penyesuaian pada tujuan perguruan tinggi berhasil menggeser pola interaksinya untuk berkembang ke arah implementasi alih-alih hanya sebatas transfer pengetahuan.
Model kedua adalah perguruan tinggi berbasis hak asasi. Perguruan tinggi jenis ini menyediakan pendidikan untuk golongan yang tidak diterima pada perguruan tinggi konvensional, contohnya Asian University for Women di Bangladesh. Model ketiga merupakan perguruan tinggi virtual berbasis internet. Model perguruan tinggi seperti ini menjamin transfer pengetahuan secara cepat dengan modifikasi konsep pengetahuan yang terus diperbarui.
Model perguruan tinggi yang keempat adalah perguruan tinggi alternatif, yang mana sangat jarang ditemui. Perguruan tinggi ini menekankan pada lingkungan budaya lokal dan interaksi di dalamnya sekaligus upaya dalam membawa budaya ini ke tingkat global dengan bantuan seni dan sains. Model kelima menurut Prof. Rukmini adalah perguruan tinggi travel, di mana orang-orang di dalamnya senantiasa memperkaya diri dengan ilmu dan kemampuan baru yang tidak terbatas dalam skala waktu dan ruang.
Permasalahan yang timbul dalam perguruan tinggi di masa ini seringkali dikaitkan dengan konsep patologi moral di mana manusia tidak memahami secara penuh hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Penilaian tentang pendidikan disamaratakan dengan penilaian kebendaan dan untung rugi, padahal pengetahuan adalah sesuatu yang tidak terbatas. Pendidikan tidak seharusnya dikembangkan hanya untuk mencetak peserta didik yang berpendapatan tinggi, tapi juga perlu memperhatikan perubahan moral dan karakter mereka.
Sepanjang abad ke-21, tantangan pendidikan telah banyak bergeser menjadi strategi untuk menciptakan lingkungan dan sistem pendidikan yang memanusiakan manusia. Sebuah sistem yang tidak hanya mementingkan sains dan teknologi namun juga lingkungan kemasyarakatan di mana ilmu itu tumbuh. Karena pada dasarnya pengetahuan tidak ada artinya apabila tidak ada masyarakat dan komunitas yang mendukung tumbuhnya pengetahuan tersebut.
“Jika kita melihat khususnya di Asia dan Afrika, para peserta didik dan pengajar pergi ke seluruh penjuru dunia dengan membawa satu pertanyaan besar, yaitu akankah kita membuat suatu perubahan? Satu hal yang masih terus menjadi pertanyaan hingga kini.”
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)