Profesor dari Kyoto University Ungkap Cara Mengurangi Emisi Karbon di Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

Foto ilustrasi kebakaran hutan. Sumber: freepik.com

BANDUNG, itb.ac.id – Karbon dioksida yang dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil dan pembakaran hutan termasuk polutan udara yang berbahaya. Contohnya, Kalimantan Tengah diprediksi akan menghasilkan 340Mt karbon dioksida dari 2005 ke 2030 akibat kebakaran gambut dan perubahan penggunaan lahan. Dengan urgensi Indonesia di peringkat ke-5 sebagai negara penghasil karbon dioksida terbanyak di dunia, solusi penanganan emisi karbon perlu dibuat.

“Karena itu, kita perlu mengimplementasikan program MRV,” kata Prof. Masahiro Kawasaki dari Kyoto University saat menjadi narasumber untuk webinar “Field Monitoring of Greenhouse Gas and Air Quality in Indonesia”, Selasa (19/11/2021). Webinar tersebut diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB.

Profesor Emeritus di Kyoto University, Japan, itu menjelaskan, MRV adalah singkatan dari Measuring, Reporting dan Verification, di mana program tersebut berfokus kepada aspek pendataan dan prediksi konsentrasi karbon dioksida di atmosfer.

Sebagai peneliti di Research Institute for Humanity and Nature Japan, Prof. Kawasaki melakukan berbagai riset mengenai kimia atmosfer, pengukuran kualitas udara dan dinamika fotoreaksi. Dari situ dia menjelaskan bahwa ketiga studi tersebut teraplikasikan kepada program-program MRV untuk memitigasi efek karbon dioksida berlebihan kepada lingkungan.

Salah satu dampak gas rumah kaca berlebihan adalah pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan emisi global sebanyak 35Gt di 2020. Sumber emisi global tersebut dapat berupa aktivitas-aktivitas bersifat natural atau antropogenik. Di Kalimantan, warga sering menderita efek kabut yang berasal dari pembakara hutan dan gambut. Kabut ini menurunkan jarak penglihatan orang-orang dan berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selain itu, kabut dapat merambat ke negara-negara lain sepert Singapura dan Filipina. Maka dari itu, tingkat emisi gas rumah kaca harus diminimalisir agar dampaknya terhadap temperatur dan lingkungan Bumi mengurang.

Pengukuran MRV terhadap pembakaran hutan dan gambut tergantung pada jenis pembakaran yaitu panas dan dingin. Pembakaran panas yang bersifat carbon neutral menyebabkan kekeringan dan berujung kebakaran hutan, sedangkan pembakaran dingin bersifat carbon loss menyebabkan penguraian tanah dalam kondisi aerobik.

“Dua-duanya berkontribusi terhadap emisi karbon dioksida di Indonesia, tetapi dampak terhadap lingkungan berbeda; jika pembakaran panas dapat dipulihkan dalam jangka waktu yang cukup panjang, pembakaran dingin mengakibatkan kerusakan permanen terhadap lingkungan,” ujar Prof. Kawasaki.

Salah satu program MRV adalah observasi satelit yang mendeteksi lokasi polusi udara serta intensitas emisi. Program lainnya adalah field sampling dengan sensor untuk mendata konsentrasi gas rumah kaca dan visibilitas lingkungan yang dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran partikel gas. Observasi air tanah pun dapat memprediksi terjadinya kebakaran hutan; pengukuran ketinggiannya tidak hanya mengontrol kebakaran panas maupun dingin, tetapi juga memprediksi dan mencegah kejadian pembakaran.

MRV mempunyai peran dalam kebijakan pengurangan karbon dioksida dan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Dari penerapan program-pragram berbasis MRV, penurun karbon di negara dapat terkontribusi terhadap carbon market ke depannya. “Pengukuran MRV perlu dilakukan di Indonesia. Dan saat ini ada banyak opsi alternatif yang murah dari sebelumnya untuk diterapkan.”

Reporter: Ruth Nathania (Teknik Lingkungan, 2019)