Proyek ENHANCE: Curiculum Development Workshop Indonesia, Kerjasama ITB dengan Universitas Warwick
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Institut Teknologi Bandung (ITB) menjalin kerjasama dengan Universitas Warwick, Inggris dalam bidang humanitarian engineering atau rekayasa kemanusiaan. Proyek yang diberi nama Enhance (ENabling Humanitarian Attributes for Nurturing Community-based Engineering) akan berlangsung selama tiga tahun dan sudah dimulai dari tahun 2018.
Sebagai inisitor program Enhance, Universitas Warwick mengusulkan proyek ini kepada Europian Commission Erasmus+, lalu mereka mengundang beberapa partner dari berbagai Negara untuk ikut serta. Dari Indonesia yang terpilih antara lain Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Brawijaya (UB),dan ITB itu sendiri.
Projek Enhance menginginkan pengembangan kurikulum di bidang teknik yang melakukan pendekatan bagaimana membuat solusi dengan rekayasa keteknikan tetapi mempertimbangkan aspek- aspek kemanusiaan. Menurut Muhamad Abduh, Ph.D., manajer tim ITB untuk proyek Enhance, mengapa hal tersebut bisa terjadi, dikarenakan sekarang ini banyak rekayasa keteknikan hanya menjawab sesuai permintaan saja atau bisa dibilang money oriented padahal dari setiap solusi yang dikeluarkan pasti ada dampak untuk sekitar.
“Jadi dari awal solusinya jangan sampai dampak-dampak itu terlupakan, terutama isu lingkungan dan isu sosial masyarakat. Kadang-kadang kita membuat solusi tidak berbasiskan akan hal tersebut,” ujar Abduh ditemui saat acara Curiculum Development Workshop Indonesia (28/8/2019) di Auditorium CC-Timur ITB.
Pada acara Curiculum Development Workshop Indonesia yang dihadiri oleh perwakilan sembilan universitas dari berbagai negara yang menjadi partner kegiatan, dilakukan presentasi hasil workshop practice dialog yang sudah dilakukan di bulan April lalu untuk menangkap teknis kebutuhan lapangan apa saja yang dibutuhkan oleh negara-negara tersebut. Dalam acara ini juga, dipaparkan bagaimana struktur kurikulum di ITB apakah kurikulum yang dipakai ini perlu di-enhance atau ditingkatkan agar lebih mendekati kepada humanitarian engineering.
“Sekarang masih dikaji dulu, dirancang selama 3 tahun agar programnya matang dan berjalan lancar, lalu setelah itu dicoba sementara di prodi Sarjana Teknik Sipil dan Magister Manajemen dan Rekayasa Konstruksi. Siapa tahu setelah diterapkan program studi lain juga tertarik untuk menerapkannya,” jelas Abduh kepada reporter Kantor Berita ITB.
Menurut Abduh juga, sebenarnya kita ini sudah menerapkan Humanitarian Engineering namun belum terstruktur secara ilmu, kurikulumnya belum jelas juga metode yang digunakan tidak eksplisit. Contohnya mata kuliah KKN, di workshop ini dikaji apa saja yang kurang dan dibutukan dalam mata kuliah KKN ini agar mata kuliah tersebut menjawab kebutuhan Humanitarian Engineering.
Perkuatan kurikulum engineering ITB dengan aspek humanitarian adalah agar para lulusan pendidikan engineering mampu menghadapi tantangan humanitarian antara lain pada daerah rawan bencana dan pasca bencana, masyarakat termarginalkan seperti di daerah perdesaan dan di daerah terpencil atau daerah tertinggal, bahkan di daerah kumuh perkotaan, serta masyarakat berpenghasilan sangat rendah. Kesemuanya itu menuju kepada pencapaian sustainable dan millenium development goal (SDG), yang antara lain menyebutkan “no one left behind”, tidak akan ada yang ditinggalkan dalam pembangunan.
Dua tahun dari sekarang atau di akhir proyek ini, harus sudah ada target kapan bisa diimplementasikan juga kurikulumnya sudah terstruktur rapih. Akhir kata Abduh berpesan kepada mahasiswa calon Sarjana Teknik untuk peduli terhadap lingkungan. “Harus peduli lingkungan, jangan mikirin diri sendiri kita ini kan makhluk sosial tidak mungkin hidup sendiri maka dari itu jangan pernah skip sama yang namanya isu sosial maupun isu lingkungan,” pungkasnya.
Reporter: Ditasari Almaidah (TPB-FTI, 2018)