Pustakawan, Pengelola Pengetahuan dan Integritas Akademik
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Kelompok Keilmuan (KK) Literasi, Media, dan Budaya, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung (ITB) mengadakan lokakarya bertajuk “Peningkatan Peran Pustakawan Perguruan Tinggi dalam Memperkuat Integritas Akademik”, Kamis (14/10/2021). Lokakarya ini diisi oleh Ida Fajar Priyanto, Yona Primadesi, dan Fitrina Cahya.
Lokakarya ini merupakan program pengabdian masyarakat yang diadakan secara daring. Acara ini dibuka oleh Ferry Fauzi Hermawan sebagai MC. Sambutan pertama disampaikan oleh Ketua Pengabdian Masyarakat ITB, yaitu Lusia Marliana Nurani. Sambutan kedua diberikan oleh Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) Jawa Barat, yakni Hada Hidayat Margana. Sambutan terakhir dituturkan oleh Tri Sulistyaningtyas sebagai Ketua KK Literasi, Media, dan Budaya, FSRD ITB.
“Seperti kita ketahui, dewasa ini, pustakawan tidak lagi identik dengan penjaga buku—yang banyak orang mengasumsikan seperti itu—namun pengelola pengetahuan atau pengelola informasi profesional. Tugas ini tidak mudah, permasalahan yang dihadapi perpustakaan di perguruan tinggi lebih rumit mengingat lembaga ini bersentuhan dengan dunia akademik dan penelitian,” ujar Tri Sulisytaningtyas.
“Penguasaan terhadap literasi informasi tidak semata-mata berkaitan dengan materinya, tetapi juga dengan strategi menjalankan dan mengajarkannya. Melalui program tersebut—literasi informasi—komunitas perguruan tinggi dapat merasakan penting atau peran penting pustakawan secara langsung dalam kegiatan akademik,” tambah Tri.
Pustawakan dan Integritas Akademik
Pemateri pertama ialah Ida Fajar Priyanto, Ph.D., seorang Dosen Sekolah Pascasarjana UGM yang juga merupakan Pakar Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Ida membuka topik dengan menggambarkan perihal universitas dan tradisi. Ida menyampaikan, "Dalam masa yang akan datang, perbandingan generasi Z dan alfa adalah 1 : 2 antara perbandingan [penduduk yang mengikuti] perguruan tinggi dan ditak. Kalau di generasi saya, rata-rata perbandingan paling tinggi itu 1 : 4.”
Kemudian, Ida membahas mengenai empat paradigma mengenai perguruan tinggi di masa depan dan tradisi akademik yang terdiri dari tiga siklus: waktu, pengetahuan, dan publikasi. Tradisi ini memerlukan integritas. “Integritas akademik adalah bagaimana kita menjunjung kejujuran kita dan tanggung jawab dalam keilmuan sehingga perlu ada rambu-rambu yang perlu diperjelas, karena sejak mahasiswa baru lahir di kampus sampai akhir, panduannya itu kurang jelas: bagaimana meneliti, bagaimana membangun kejujuran,” ujar Ida.
Gambar 1. Ida Fajar Priyanto menjelaskan mengenai siklus dunia pendidikan.
Ada enam peran perpustakaan dalam membangun keberhasilan pendudukan tinggi, di antaranya adalah (1) membangun komunikasi dengan seluruh unit lembaga, (2) membangun rasa percaya diri sivitas akademika, (3) membangun visibilitas lembaga, (4) mengontrol karya-karya produksi sivitas akademika sejalan dengan visi dan misi lembaga, (5) media komunikasi ilmiah, dan (6) layanan integritas akademik.
Pemateri kedua adalah Dr. Yona Primadesi dari Universitas Negeri Padang yang membawakan materi perihal perpustakaan dan kebutuhan informasi masyarakat perguruan tinggi. Yona menyampaikan pentingnya peran pustakawan dalam memahami kebutuhan pemustaka untuk memahami kebutuhan informasi dan pola pencarian informasi.
“Masyarakat perguruan tinggi merupakan pengguna informasi paling ilmiah, paling spesifik, dan paling canggih sehingga kita tidak hanya harus berkutat [tentang] bagaimana proses pembangunan koleksi, tetapi juga bagaimana proses interaksi pustakawan dan pemustaka,” tutur Yona.
Ketika sudah terbangun interaksi antara pustakawan dan pemustaka, langkah berikutnya ialah perihal layanan referensi. Pustakawan dalam layanan referensi bagaikan tangan kanan dalam penyelesaian pembuatan suatu tulisan. Dalam kerangka literasi akademik, hal yang dibahas bukan hanya kerangka berpikir kritis dan membaca sumber informasi, melainkan juga bagaimana menuliskan hal tersebut menjadi informasi baru dan mengomunikasikan sumber yang didapat – setelah mendapatkan sumber informasi yang relevan, kesulitan berikutnya ialah cara menuliskan hal tersebut.
Pemateri ketiga adalah Fitrina Cahya, MA dari Universitas Gajah Mada. Ia menyebutkan lima prinsip dasar integritas akademik, yaitu kejujuran (honesty), kepercayaan (trust), keadilan (fairness), hormat (respect), dan tanggung jawab (honesty). Cahya menjelaskan tiga tempat yang dibutuhkan seseorang untuk menjadi sehat secara emosional. Ia mengatakan bahwa tempat pertama adalah rumah dan tempat kedua adalah kantor atau kampus (tempat seseorang banyak menghabiskan waktu, melakukan kegiatan, dan menjalin relasi). Tempat ketiga, katanya, merupakan “welcoming ‘other space’”, dapat berupa kafe, restoran, taman, dan perpustakaan. Di Singapura, mahasiswa lebih suka belajar di perpustakaan dibandingkan tempat lain ketika masa ujian.
Cahya menyampaikan peran perpustakaan dalam proses penelitian dan pengabdian masyarakat, juga pentingnya menjaga nilai kejujuran dan tanggung jawab di pembelajaran maupun penelitian dalam membangun atmosfer integritas. Selain menyinggung terkait pelanggaran integritas akademik seperti plagiarisme, ia juga memberikan masukan atau saran mengenai hal-hal yang dapat diaplikasikan pada situs perpustakaan, termasuk aplikasi analisis teks seperti voyant tools dan vos viewer.
Gambar 2. Sesi tanya jawab yang berlangsung di akhir acara lokakarya. Keterangan foto: Yoka Adam Nugraha, Ida Fajar Priyanto, Yona Primadesi, dan Fitrina Cahya (kiri ke kanan, atas ke bawah).
Setelah ditutup oleh Ida, mata acara berikutnya adalah sesi diskusi dengan ketiga pemateri yang dimoderasi oleh Yoka Adam Nugraha selaku moderator. Pada sesi diskusi ini, beberapa saran disampaikan oleh pemateri untuk meningkatkan kualitas perpustakaan dan peran pustakawan. “Money can’t make you happy, but it can make you comfortable,” ujar Ida ketika menanggapi salah satu pertanyaan.
Reporter: Hasna Khadijah (Teknik Lingkungan, 2019)