Rendy Saputra: Wirausahawan Mandiri!

Oleh kristiono

Editor kristiono

Titik air membasahi hijaunya dedaunan, tampak puluhan mahasiswa ITB lalu lalang menembus rintik gerimis Desember. Berdiri sejak tahun 1959, Institut Teknologi Bandung menjadi tempat menempa diri bagi ribuan mahasiswanya. Hal ini juga berlaku bagi Rendy Saputra, Mahasiswa Teknik Minyak Angkatan 2004 yang beberapa waktu lalu (11/12), menyempatkan diri berbagi perjalanan hidupnya di Kampus Ganesha ITB. Rendy Saputra, kelahiran Balikpapan, 1 Juli 1986 adalah satu dari beberapa mahasiswa ITB yang memutuskan berkeluarga sebelum lulus. Rendy bahkan mengaku ”terlambat” ijab-kabul pada usia 21 tahun. Hebatnya, berkeluarga tidak menghalangi pemilik NATC, sebuah lembaga tutorial untuk mahasiswa TPB, ini untuk tetap ’eksis’ di kampus. Aktivitasnya tersebar mulai dari kegiatan diskusi, pemilik lembaga profit, trainer, juga sebagai staf ahli unit religi mahasiswa terbesar di ITB. ”Saya juga nge-rileks lho”, imbuhnya. Menurut Rendy, begitu Ia kerap disapa, atmosfer kehidupan di Kampus Ganesha turut membentuk pribadinya yang sekarang. “Selama kuliah, saya merasa sangat terbantu dalam pengembangan diri karena lingkungan di ITB sangat mendukung. Pertama mahasiswa ITB bervariasi dari berbagai daerah, dengan standar intelegensi di atas rata-rata mahasiswa Indonesia. Termasuk dosen, kadang memberikan kuliah yang terkait dengan kebangsaan”, ujar Rendy seraya menyebut kuliah pengeboran yang dibawakan Dr. Rudi Rubiandini sebagai contoh. “Ini membuat saya banyak mendapatkan bantuan kaidah-kaidah berpikir mengenai satu hal”, imbuhnya mantap. Rendy mengawali aktivitas organisasi kampus dengan mengikuti kaderisasi Patra (himpunan mahasiwa teknik perminyakan), bergabung dengan Majelis Ta’lim Salman (Mata), hingga akhirnya berlabuh di Keluarga Mahasiswa Islam ITB (Gamais). “Karakter saya cocok dengan lingkungan Gamais, saya aktif sejak tingkat dua sampai sekarang”, urainya. Soal rekam jejak di Gamais, Rendy mengawali ”karier” sebagai staf kaderisasi, beranjak menjadi sekjen internal, dan kini sebagai staf ahli sekaligus trainer Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Nasional. Mewakili Gamais ITB, Rendy beberapa kali didaulat untuk berbicara seputar Manajemen Sumber Daya Manusia Aktivis Dakwah Kampus (SDM-ADK) di berbagai kota seperti Medan, Bengkulu, Malang, Balikpapan, juga Cimahi. “Pesertanya mahasiswa pengurus FSLDK cabang propinsi. Misalnya, di Kota Medan berarti untuk FSLDK se-Sumatera Utara” ujarnya. Agustus 2006 lalu, Rendy Saputra resmi melepas lajangnya dengan menyunting dara sunda bernama Aster Yuniati. ”Beliau empat tahun lebih tua dan sudah lulus dari Unpad jurusan pemberdayaan tanaman. Setelah menikah saya merasa aktivitas tidak terganggu. Meskipun menghadapi lebih banyak masalah, saya kira merupakan proses pendewasaan. Dengan berkeluarga saya dituntut lebih efesien soal waktu, selektif memilih jenis aktivitas agar tetap bisa berkontribusi maksimal. Pokoknya lebih banyak hal positif, bahasa IT-nya, menikah membuat virus-virus di-remove dan system di-defrag”, akunya terkekeh. Rendy bersyukur kini istrinya tengah mengandung 3,5 bulan. Soal finansial, dirinya mengaku mampu mencukupi. Istrinya tidak bekerja, semua kebutuhan keuangan menjadi tanggungannya. “Alhamdullilah Allah memberikan jodoh diatas harapan. Dan itu yang terbaik. Saya merasa bahagia dengan pernikahan ini. Kami cocok satu dengan yang lain. Keluarga ini digariskan dalam dakwah”, ucapnya. Rendy menargetkan lulus sarjana pada bulan Juli 2009. Pria ini bahkan telah mengantongi tiga skenario setelah lulus. Bekerja, menjadi karyawan sebuah perusahaan merupakan scenario paling rendah. Mendalami ilmu kebijakan energi dengan melanjutkan studi di luar negeri atau di SBM-ITB menjadi rencana moderat. Adapun skenario unggulannya adalah mengembangkan jiwa entepreunership dengan terjun sebagai wirausahawan. Ketika ditanya soal kelemahan pribadi, pria ini bertutur “saya sulit konsisten menjaga ide-ide”.