Rudy Sayoga Gautama, Guru Besar ITB yang Konsen dalam Pengembangan Pengelolaan Air Asam Tambang di Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Air asam tambang merupakan salah satu isu lingkungan yang kerap muncul dalam industri pertambangan. Sayangnya, perhatian terhadap masalah air asam tambang ini belum banyak diketahui orang. Padahal, dampaknya begitu serius terhadap lingkungan.
Atas dasar itulah yang membuat Prof. Dr. Ir. Rudy Sayoga Gautama dari Kelompok Keahlian Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) ITB, banyak melakukan penelitian mengenai pengelolaan air asam tambang di Indonesia.
Air Asam Tambang (AAT) atau yang juga disebut dengan Air Asam Batuan (AAB) adalah air pada kegiatan penambangan atau penggalian yang bersifat asam atau memiliki keasaman tinggi dan terbentuk sebagai akibat teroksidasinya mineral sulfida disertai keberadaan air.
Air asam ini akan berdampak terhadap lingkungan salah satunya terhadap biota air, jika air asam ini masuk ke sungai, maka sungai akan terkontaminasi dan air sungai yang terkontaminasi ini akan terus mengalir hingga hilir. Selain itu, air asam mudah melarutkan logam. Jika logam terlarut tinggi dalam air dan dikonsumsi oleh manusia, akan menimbulkan penyakit dalam tubuh manusia.
Perhatian Prof. Rudy terhadap masalah air asam tambang ini dimulai pada 1990 ketika terjadi kasus diidentifikasi adanya akumulasi air asam tambang pada di salah satu pit bekas penambangan di wilayah tambang batubara Bukit Asam, Sumatera Selatan. Kemudian dari isu itu, ia buat dalam bentuk paper dan dipresentasikan pada International Mine Water Association Congress di Nottingham, Inggris pada tahun 1994. Menurutnya, sampai pada tahun 1970 – 1980-an, di Indonesia belum ada perhatian terhadap masalah air asam di sekitar areal pertambangan dan regulasi terkait masalah itu pun belum ada.
“Kebetulan pemerintah Indonesia waktu itu mendapat bantuan dari Amerika untuk pelatihan pengawas tambang, diperkenalkanlah isu ini di akhir 80-an dan baru menjadi perhatian di Indonesia. Ketika saya pulang dari S3 tahun ’89 saya liat di lapangan, wah ini ada masalah dan waktu itu juga, ada kasus yang terjadi di Bukit Asam ini, dari kasus itu saya tuangkan dalam sebuah paper yang kemudian dipresentasikan di Inggris tahun ’94 itu awalnya saya berkecimpung di air asam tambang,“ ujar Prof. Rudy
Dari tahun 1994 sampai sekarang, beliau tetap fokus mengkaji mengenai air asam. Pada tahun 1996 beliau mengadakan seminar air asam tambang yang pertama di Indonesia. Misinya untuk memperkenalkan air asam tambang pada perusahaan tambang agar peduli dengan masalah ini. Beliau juga turut serta dalam Tim Teknis Standardisasi Kementerian ESDM di bidang Lingkungan yang diantaranya menyusun berbagai standar nasional (SNI) terkait dengan Air Asam Tambang. Standar yang dibuat adalah standar uji karena prosedur harus di standardisasi dan juga melakukan standardisasi terhadap pengelolaan tambang.
Dalam melakukan pengelolaan air asam tambang terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan, diawali dengan melakukan karakterisasi batuan karena di alam ada batuan yang membentuk asam dan tidak. Masalah air asam tambang harus diselesaikan dari sumbernya yaitu di hulu dengan melakukan perencanaan tambang yang baik dengan memikirkan penanggulangan kemungkinan dampak yang akan terjadi. Jika tidak dikelola dengan baik, air asam tambang dapat berlangsung lama, tidak hanya pada masa operasi pertambangan saja. “Masalah ini bisa muncul terus sampai jauh melampaui umur tambang sehingga menjadi perhatian negara-negara besar seperti Amerika, Kanada, dan Jepang karena menghadapi masalah air asam tambang yang tidak kunjung usai walaupun tambang nya sudah lama tutup atau berhenti beroperasi,” katanya.
Menurutnya, peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjamin bahwa penanggulangan masalah air asam tambang dilakukan dengan baik oleh perusahaan tambang, karena pemerintah yang akan bertanggung jawab jika masalah air asam tambang terus terjadi sementara pihak perusahaan tambang pemegang ijin usaha pertambangan sudah selesai melakukan kegiatan tambang di areal tersebut.
Dedikasi terhadap masalah air asam tambang, selain telah mengorganisir seminar air asam tambang sampai dengan kelima kalinya (terakhir tahun 2014) juga ia buktikan dengan bukunya yang berjudul “Pembentukan, Pegendalian dan Pengelolaan AirAsam Tambang” yang diterbitkan tahun 2014. Keterlibatan Prof. Rudy mengenai air asam tambang tidak hanya di nasional, tapi juga di dunia Internasional. Bersama dengan sejawatnya di UGM, IPB, dan Kementerian ESDM ia membentuk Indonesian Network on Acid Drainage (INAD) yang selanjutnya tergabung dalam Global Alliance bersama institusi di berbagai negara yang bergelut dalam isu air asam tambang dan juga perusahaan-perusahaan tambang multinasional yang menghadapi atau peduli dengan masalah yang sama.
Berkat kontribusinya, kini pengelolaan air asam tambang di berbagai perusahaan tambang, baik tambang batubara maupun tambang emas, semakin baik. Salah satunya adalah dalam menyusun pengelolaan air asam tambang di PT Bukit Asam yang telah mendapatkan penghargaan Proper Emas empat kali secara berturut-turut dari KHLK. Penghargaan itu merupakan penghargaan tertinggi dalam pengelolaan lingkungan. Pada September nanti, ia akan melakukan presentasi di Afrika Selatan membahas kasus mengenai air asam di tambang batubara Bukit Asam.
Reporter: Diah Rachmawati